Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mendorong agar evaluasi terhadap Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) mengarah pada kenaikan batas besaran yang ditetapkan pemerintah. Dia berpendapat jika besaran PTKP dinaikan, maka penghasilan masyarakat akan semakin besar akibat dampak meningkatkan konsumsi masyarakat.
Sehingga apabila Menteri Keuangan Sri Mulyani hendak merevisi aturan ini, maka besaran PTKP di atas Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta, batasan yang berlaku saat ini.
"Pengaruh dari menaikkan PTKP itu memperbesar penghasilan yang tertahan di penerimanya, pajaknya mengecil sedikit, tapi belanjanya naik," kata Darmin di kantor Kemenko Ekonomi ,Jakarta, Jumat (21/7).
Darmin menjelaskan kenaikan besaran PTKP tidak serta merta mengurangi target penerimaan pajak per tahun. Dia beranggapan target penerimaan pajak lebih bergantung pada ketaatan orang dalam membayar pajak.
(Baca: Penyesuaian PTKP Berdasarkan Upah Minimum Menuai Pro Kontra)
Darmin mengatakan, memang Pajak Penghasilan (PPh) akan mengalami penurunan. Tetapi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa saja meningkat akibat konsumsi yang juga meningkat. "Ya ada hubungannya seperti itu. Tapi kalau tanya meningkat berapa besar, saya belum bisa jawab," ujarnya.
Saat ini Dirjen Pajak mengkaji untung-ruginya menyesuaikan besaran PTKP dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Sebab besaran PTKP salah satu instrumen pemerintah untuk mendorong daya beli masyarakat.
“Kalau PTKP diturunkan, berarti kemampuan pajaknya meningkat. Tetapi kalau PTKP dinaikkan, daya beli meningkat,” tutur Hadiyanto usai Rapat Kerja (Raker) dengan Badan Anggaran (Banggar) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (21/7).
(Baca juga: Rencana Revisi PTKP Diusulkan Mengacu Pajak Final Sesuai Profesi)
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, rencana penyesuaian PTKP dengan UMP di daerah akan kontra produktif. Dia mengatakan pada 2008 lalu, salah satu penyebab krisis adalah kenaikkan tarif PPh yang membuat ruang masyarakat untuk berbelanja berkurang. Alhasil, konsumsi rumah tangga—yang selama ini berkontribusi lebih dari 53%—tak mampu mendorong ekonomi tumbuh maksimal.
“Kalau mau cari tambahan (penerimaan) pajak itu dari (gaji) pegawai atau pengusaha yang sudah taat bayar pajak, risikonya tingkat konsumsi menurun. Kalau mau, cari sumber pajak di luar yang tradisional (yang selama ini sudah dipatuh),” kata David kepada Katadata.
David juga mengatalan penurunan daya beli akan berdampak snowballing, yakni turunnya penerimaan dari sisi PPN karena konsumsi berkurang.
Penurunan daya beli masyarakat terekam dari data Bank Indonesia (BI) yang mencatat turunnya penjualan ritel semester pertama 2017 sebesar 6,7% dibanding periode sama tahun lalu. Daya beli masyarakat turun akibat kenaikan tarif listrik dan penundaan gaji PNS aktif dari Juni ke Juli.
(Baca: Gaji Ke-13 PNS Cair Rp 6,8 T, Konsumsi Masyarakat Bakal Terdongkrak)