Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali menahan bunga acuan di level 4,75%. Langkah tersebut sejalan dengan upaya BI untuk mendukung pemulihan ekonomi domestik serta mengantisipasi risiko global, terutama yang berasal dari Amerika Serikat (AS).

Keputusan tersebut diumumkan setelah dewan gubernur menggelar rapat hingga larut malam pada Kamis (20/7). Meski begitu, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Budi Waluyo meyakinkan tidak ada sesuatu hal yang serius yang menyebabkan panjangnya proses pengambilan keputusan.

“Ini assessment (penilaian) komprehensif kami lihat data yang ada hingga posisi terakhir serta data global sehingga perlu waktu ekstra. Enggak ada sesuatu yang serius yang menjadi faktor kenapa perlu waktu lama,” kata Arbonas di Gedung BI, Jakarta, Kamis (20/7).

Selain menahan bunga acuan, BI juga menahan suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility), masing-masing di level 4% dan 5,5%. (Baca juga: Antisipasi Inflasi dan Tekanan Global, BI Diramal Tahan Bunga 4,75%)

Direktur Departemen Komunikasi BI Arbonas Hutabarat Arbonas menerangkan, pemulihan ekonomi domestik terus berlanjut namun tidak sekuat perkiraan semula terutama akibat perlambatan konsumsi. Adapun tekanan inflasi diperkirakan sedikit berkurang di bawah perkiraan semula akibat permintaan yang masih lemah dan terkendalinya harga pangan. 

Inflasi bulanan pada Juni atau Lebaran lalu tercatat 0,69%, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata inflasi periode Lebaran dalam tiga tahun terakhir yang sebesar 0,85%. Sementara itu, Inflasi inti tercatat sebesar 0,26%, lebih rendah dari pola historis inflasi inti periode lebaran tiga tahun terakhir sebesar 0,40%.

Penurunan inflasi inti ini mencerminkan permintaan domestik yang masih lemah, selain nilai tukar yang stabil dan ekspektasi inflasi yang terkendali.

Lebih jauh, Arbonas menjelaskan, ada beberapa risiko yang masih diwaspadai BI. Dari sisi global, risiko yang dimaksud terutama berasal dari Amerika Serikat (AS) di antaranya rencana kenaikan bunga dana serta normalisasi neraca bank sentral AS, serta kebijakan fiskal pemerintah AS.

Selain itu, BI juga mewaspadai konsolidasi korporasi dan perbankan yang berlanjut. Konsolidasi perbankan seiring dengan masih tingginya risiko kredit. Pada Mei lalu, rasio kredit seret (Non Performing Loan/NPL) gross tercatat 3,1% dan NPL nett 1,4%. 

Adapun pertumbuhan kredit perbankan tercatat melambat dari 9,5% pada April menjadi 8,7 persen pada Mei. Di sisi lain, pertumbuhan dana nasabah atau Dana Pihak Ketiga (DPK) membaik dari 9,9 persen menjadi 11,2 persen.

“Pertumbuhan DPK dan kredit pada tahun 2017 diperkirakan akan membaik dan masing-masing berada dalam kisaran 9-11% dan 10-12%,” kata Arbonas.

Ia pun menekankan, BI akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta tetap memberi dukungan bagi pemulihan ekonomi lebih lanjut.