Dari Fluktuasi Hingga Inflasi, Ekonom Jelaskan Risiko Redenominasi

Petugas penukaran mata uang merapihkan uang yang hendak ditukar dengan mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang di Jakarta. Berdasarkan data Bank Indonesia, kurs tengah rupiah dipatok pada level Rp11.722 per dolar AS, melemah 0,14% dibandingkan
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Pingit Aria
20/7/2017, 18.45 WIB

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai wacana redenominasi rupiah belum layak dilakukan dalam waktu dekat. Menurutnya, beberapa faktor penentu masih belum mendukung implementasi rencana ini.

Ia menilai, redenominasi sebaiknya dilakukan saat pertumbuhan ekonomi stabil di di atas 6 persen. Selain itu, nilai tukar rupiah saat ini terbilang masih rentan yakni sekitar Rp 13.300. Kemudian, redenominasi juga harus menunggu hingga neraca perdagangan dan cadangan devisa yang harus lebih tinggi dan berkualitas. 

"Indonesia belum terlalu siap. Hanya tingkat inflasi yang mendukung," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (20/7).

Ia menyebut, masih terlalu banyak isu yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Di antaranya, defisit anggaran dan kredit perbankan yang masih harus dipacu.

(Baca juga: Sri Mulyani Syaratkan Ekonomi Stabil untuk Redenominasi Rupiah)

" Saya setuju (redenominasi) tapi timingnya tidak pas. Apalagi jika terburu-buru membuat masyarakat panik dan ada risiko inflasi, capital outflow, rupiah melemah, dan cadangan devisa merosot," ujarnya.

Kritik juga datang dari Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketua Komisi Keuangan DPR Melchias Markus Mekeng mempertanyakan persiapan yang sudah dilakukan BI untuk melaksanakan redenominasi. "BI cuma ngomong redenominasi. Mana sekarang, apa langkah yang sudah dia lakukan," ujarnya.

Menurut Mekeng, BI seharusnya melakukan sosialisasi dulu kepada masyarakat dan pelaku pasar agar rencana itu tidak menimbulkan kekhawatiran. Menurut dia, inflasi yang rendah tak bisa dijadikan alasan kuat untuk mendorong redenominasi. Alasannya, inflasi yang rendah saat ini lebih disebabkan oleh penurunan daya beli, bukan penurunan harga barang dan jasa.

(Baca juga: BI Ajak DPR 'Pemanasan' Bahas Redenominasi Mata Uang)

Sebaliknya, Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mendukung rencana redenominasi yang digulirkan oleh Bank Indonesia (BI). Langkah tersebut dinilai cukup tepat dilakukan dengan melihat kondisi Indonesia saat ini.

Menurut Kartika, nilai tukar rupiah saat ini terbilang kecil dibandingkan mata uang lain. Ia mencontohkan, pecahan terbesar uang kertas Rp 100 ribu nilainya  hanya setara dengan US$ 8. "Jadi memang sudah saatnya reevaluasi dari mata uangnya," ujarnya.

Hanya, Kartika mengingatkan agar redenominasi dilakukan dengan hati-hati. Sebab, ditariknya uang pecahan di bawah Rp 1.000, harga barang akan mengalami perubahan.

(Baca juga: DPR Kritik Langkah BI Gulirkan Rencana Redenominasi Mata Uang)

Untuk mencegah kepanikan, pemerintah harus memberikan sosialisasi yang memadai pada masa transisi. “Jadi, tidak apa-apa selama dijelaskan dengan baik melalui sosialisasinya. kami dukung," ujarnya.

Dukungan juga disuarakan oleh Ketua Dewan Pertimbangan  Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi. Menurutnya, perekonomian Indonesia saat ini sudah cukup meningkat, sehingga hal tersebut bisa dilakukan. 

Sofyan menjelaskan, rendahnya niilai rupiah dibandingkan mata uang lain membuat transaksi tak efisien. Angka-angka dalam pembayaran bisa sangat fantastis hingga triliunan dan memerlukan jumlah uang yang sangat banyak untuk mencapai nilai tersebut.

"Kami rasa memang sudah waktunya. jadi, tidak apa-apa selama dijelaskan dengan baik melalui sosialisasinya. kami dukung," ujar pria yang juga merupakan anggota tim ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla ini.

Reporter: Miftah Ardhian