Pemerintah telah merilis 15 paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan investasi dan kegiatan usaha. Namun, semua paket itu belum ampuh menarik banyak investor lantaran terkendala berbagai birokrasi dan peraturan. Karena itu, pemerintah berencana merilis satu paket kebijakan yang mampu memberantas regulasi penghambat investasi.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, proses perizinan investasi di Indonesia sudah semakin dipermudah dengan adanya 15 paket kebijakan ekonomi. Namun, proses perizinan usahanya masih sulit.
Bahkan untuk satu jenis usaha saja, misalnya, bisa ada sekitar 70 perizinan. Hal inilah yang membuat peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Bussines/EODB) Indonesia versi Bank Dunia sulit naik ke level 40.
"Yang agak susah, izin usahanya. Macam-macam itu, memulai usaha, membuat bangunan, izin produk. Itu yang sedang kami cari, bagaimana solusinya supaya mudah, meskipun tak semudah investasi," ujar Darmin usai Rapat Satuan Tugas (Satgas) Paket Kebijakan Ekonomi di kantornya, Jakarta, Selasa (4/7).
Di tempat yang sama, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan A. Djalil mengungkapkan, pemerintah tengah mengkaji satu paket kebijakan yang bersifat progresif, sehingga dapat membabat habis birokrasi yang menghambat investasi. "Kami pikirkan cara yang lebih progresif supaya tidak harus buat 15 paket lagi tapi satu saja, tapi progresif," kata dia.
Harapannya, investasi yang masuk ke Indonesia bisa terus meningkat hingga nilainya minimal berkisar lima persen dari total investasi dunia. Sekadar informasi, saat ini investasi yang masuk ke Indonesia masih sekitar 1,97 persen dari total investasi dunia.
Deputi Menko Bidang Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady menyatakan, 15 paket yang sudah terbit memang diarahkan untuk menyederhanakan birokrasi. Namun, berdasarkan hasil evaluasi terkini, upaya itu belum cukup berhasil menarik investasi. Karenanya, semua paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis tersebut belum dikatakan berhasil.
"Target (paket kebijakan untuk) mengundang investasi. Kalau dilihat dari hasil, targetnya itu lima tahun bisa tercapai. Tapi ada pesan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang belum tercapai," kata Edy. "Kami melakukan atraksi citra, sudah investment grade, kenapa tidak tercapai?"
Indikasinya adalah rasio Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), misalnya, rata-rata hanya 33 persen dari total investasi keseluruhan. Investasi dunia yang berhasil diserap pun hanya 1,97 persen dari total US$ 1.471 miliar.
Investor di negara-negara maju pun belum sepenuhnya mempercayai Indonesia sebagai tujuan berinvestasi. Meskipun Indonesia sudah bergelar layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat utama dunia.
Edy mencatat ada tiga penyebab belum tercapainya target investasi sesuai RPJMN. Pertama, bad regulatory practice lantaran banyak regulasi yang terbit dadakan tanpa uji publik. Kedua, belum ada sinergi antara ketentuan per sektor dengan daerah. Ketiga, masih banyak peraturan daerah yang menjadi kendala usaha.
"Ini masalah umum dan menjadi keluhan, kemudian ada usulan untuk atraksikan Daftar Negatif Investasi (DNI). Kami akan review DNI, yang penting percepatan eksekusi investasi," katanya.
Darmin pun mengakui, ada banyak peraturan daerah yang menghambat investasi dan usaha. Apalagi, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan perda provinsi. Alhasil, saat ini hanya Presiden yang bisa mencabut Perda.
Sementara itu, pemerintah tengah mencari cara yang lebih mudah agar jumlah perda itu bisa diminimalisir. "Memang ada tidak, yang tidak usah Presiden? Itu tadinya (yang) kami (carikan solusinya)," kata Darmin.