Pemerintah Tetap Upayakan Buka Data Nasabah Bila Perppu Ditolak

Katadata | Agung Samosir
Suasana di salah satu kantor cabang bank di Jakarta
14/6/2017, 11.38 WIB

Pemerintah bakal tetap mengupayakan keterbukaan data nasabah bagi Direktorat Jenderal Pajak kalaupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan. Pemerintah akan mendorong ketentuan tersebut masuk dalam sederet undang-undang (UU).

“Semoga jangan (sampai ditolak DPR). Tapi (kalau ditolak), kami bisa buat UU baru atau revisi UU yang sudah ada,” kata Kepala Subdirektorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Leli Listianawati di kantornya, Jakarta, Selasa (13/6) malam. (Baca juga: Sri Mulyani: Lapor Saldo Rp 1 Miliar Tak Otomatis Jadi Objek Pajak)

Revisi UU yang dimaksud di antaranya revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Perbankan, Perbankan Syariah, serta Pasar Modal. Menurut Leli, langkah tersebut perlu dilakukan lantaran Indonesia sudah terlanjur bergabung dalam kerja sama internasional: pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait perpajakan. Data yang dipertukarkan di antaranya data keuangan nasabah. Rencananya, Indonesia bakal memulai kerja sama tersebut pada 2018 mendatang.

Adapun, regulasi primer alias landasan hukum dalam negeri untuk pelaksanaan kerja sama AEoI tersebut semestinya rampung pada akhir Juni ini. Bila tidak, Indonesia bisa dianggap gagal melaksanakan komitmen internasionalnya. (Baca juga: LPS Yakin Keterbukaan Data Tak Memicu Penarikan Dana di Bank)

Leli menjelaskan, bila dianggap gagal, maka Indonesia tidak berhak mendapatkan data wajib pajak di luar negeri secara otomatis dari otoritas pajak di negara-negara yang mengikuti AEoI. Di sisi lain, Ditjen Pajak tetap wajib memberikan data ke otoritas pajak di negara lain. Bila hal ini terjadi, maka Indonesia bakal merugi, sebab tak mampu mengejar potensi penerimaan dari penghindar pajak di luar negeri.

Menurut dia, tidak menjadi soal jika pembahasan Perppu terkait melewati tenggat akhir Juni. Alasannya, Perppu tetap berlaku meski DPR belum memberikan keputusan menerima atau menolak Perppu tersebut menjadi UU. Ini artinya, Indonesia tetap dianggap sudah memenuhi syarat AEoI berupa pemenuhan regulasi primer.

Sejauh ini, Badan Musyawarah (Bamus) DPR masih mengkaji soal pihak yang akan membahas Perppu tersebut, bisa Komisi XI yang membidangi keuangan atau Badan Anggaran (Banggar). Setelah itu, akan dilakukan rapat konsultasi antara pimpinan DPR dengan Presiden Joko Widodo. “Rapat konsultasi ke Presiden kapan? Itu Pimpinan yang tahu,” kata Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Misbakhun. (Baca juga: Pasca Rekening Bank Diakses Pajak, Darmin Harap Penerimaan Stabil)

Menurut dia, ketentuan dalam Perppu yang menjadi sorotan Komisi XI adalah tentang keterbukaan data nasabah domestik. Ketentuan itu dinilai lebih dominan diatur dalam Perppu daripada keterbukaan data nasabah asing. Padahal, Perppu tersebut utamanya dibuat untuk melaksanakan kerja sama AEoI. Kewajiban Ditjen Pajak dalam kerja sama itu adalah mengirimkan data keuangan nasabah asing kepada otoritas pajak di negara asal nasabah tersebut.

Anggota Komisi XI Johnny G. Plate menilai semestinya pemerintah memisah ketetapan mengenai keterbukaan data nasabah Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA). (Baca juga: DPR Usul Pemisahan Perppu Buka Data Nasabah Asing dan Lokal)

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi rencana DPR untuk melakukan rapat konsultasi dengan Presiden. Harapan dia, ada komunikasi yang lebih baik antara pemerintah dengan DPR sehingga menghasilkan keputusan yang menguntungkan bagi negara, terutama dari sisi penerimaan pajak.

“Saya rasa bagus, karena ini komunikasi antar-lembaga. Kami berharap ini akan bagus komunikasinya,” ucapnya. (Baca juga: Sri Mulyani Waspadai Target Pajak Meleset Rp 70-90 Triliun)