Upaya pemerintah menjaga harga bahan makanan ternyata belum ampuh untuk meredam laju inflasi. Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat, angka inflasi pada bulan April lalu sebesar 0,09 persen. Padahal, sebelumnya pemerintah berharap selama bulan lalu bisa terjadi deflasi.
Inflasi pada April 2017 tersebut meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatatkan deflasi sebesar 0,02 persen. Alhasil, tingkat inflasi tahun kalender atau selama Januari–April 2017 sebesar 1,28 persen dan secara tahunan (April 2017 terhadap April 2016) sebesar 4,17 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, inflasi pada April 2017 didorong oleh lonjakan kelompok pengeluaran perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar yang mencapai 0,93 persen. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk konsumsi listrik rumah tangga 900 va (volt ampere) memberi andil terhadap inflasi sebesar 0,20 persen.
Tingginya kontribusi TDL ini terhadap inflasi disebabkan persentase rumah tangga pascabayar mencapai 17,18 persen. Sedangkan rumah tangga prabayar listrik hanya 12,5 persen.
(Baca: Survei BI: Kenaikan Tarif Listrik Picu Inflasi April 0,08 Persen)
“Yang butuh perhatian khusus adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bahar cukup tinggi dengan 0,93 persen. Untungnya bisa dinetralisir oleh deflasi pada bahan makanan,” katanya di kantor BPS, Jakarta, Selasa (2/5).
Hal itu tercermin dari komponen pembentuk inflasi. Komponen inflasi berupa harga yang diatur pemerintah (administered price), seperti listrik, bahan bakar minyak (BBM) dan energi, pada April 2017 sebesar 1,27 persen. Begitu pula dengan inflasi komponen inti sebesar 1,27 persen. Namun, komponen harga bergejolak (volatile food) mengalami deflasi 1,26 persen.
Suhariyanto menjelaskan, deflasi pada bahan makanan disebabkan penurunan harga cabai merah dan cabai rawit yang mengalami deflasi 0,09 persen. Harga bawang merah juga menurun dengan kontribusi sebesar 0,02 persen. Bahan makanan lainnya yang mengalami deflasi adalah daging, telur ayam ras, dan minyak goreng.
Namun, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 0,12 persen. Begitu pula dengan kelompok kesehatan mengalami inflasi 0,08 persen, dan kelompok pendidikan, rekreasi, dan olah raga 0,03 persen.
Kelompok pengeluaran lain, seperti sandang mengalami inflasi 0,49 persen. Inflasi disebabkan kenaikan harga emas dan perhiasan seiring peningkatan harga di pasar internasional. Pada kelompok pengeluaran transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan terjadi inflasi sebesar 0,27 persen. Penyebabnya adalah kenaikan tarif angkutan udara, bensin, dan pulsa ponsel.
Suhariyanto menyimpulkan, inflasi pada April 2017 cukup terkendali. Harapannya, inflasi terus terkendali hingga menjelang lebaran. (Baca: Harga Pangan Terkontrol, Menko Darmin Berharap Deflasi Bulan Ini)
Namun, ia mengingatkan, ke depan ada beberapa komoditas bahan makanan yang perlu diperhatikan karena masih memberi sumbangan inflasi. Misalnya, kenaikan bawang putih yang memberi andil terhadap inflasi sebesar 0,03 persen, daging ayam ras dan tomat serta jeruk.
Pencapaian inflasi pada April lalu itu tak jauh berbeda dengan perkiraan Bank Indonesia (BI). Gubernur BI Agus DW. Martowardojo sebelumnya memperkirakan inflasi April sebesar 0,08 persen. Penyebabnya adalah Tarif Dasar Listrik (TDL) yang naik bertahap yaitu pada Januari, Maret, dan Mei.
Selain itu, kenaikan harga daging ayam. Di sisi lain, sayur-sayuran maupun bawang merah tercatat mengalami penurunan atau deflasi.
Menurut Agus, sepanjang tahun ini harga pangan bergejolak bakal diupayakan terjaga di bawah empat atau lima persen. Tujuannya, untuk mengimbangi kenaikan dari harga-harga yang diatur pemerintah.
Sebaliknya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berharap inflasi pada April dapat terkontrol di level rendah, bahkan deflasi. Harapan itu sesuai dengan kecenderungan deflasi yang kerap terjadi dua bulan berturut-turut. Ia menjelaskan, hal tersebut sangat mungkin terjadi karena musim yang sedang baik, sehingga pasokan kebutuhan pangan pun terkendali.