Sri Mulyani Kecewa Negara-Negara Besar Tak Jaga Komitmen Dagang

Arief Kamaludin | Katadata
20/3/2017, 14.10 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump bertentangan dengan komitmen kerja sama G20. Ia pun menyerukan agar negara anggota G20 menjaga komitmen kerja sama terutama di bidang perdagangan dan investasi. Namun, seruan tersebut tak direspons positif oleh perwakilan negara anggota.

Seruan tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 di Baden-Baden, Jerman, pada 17-18 Maret lalu. Menurut dia, kerja sama global di bidang perdagangan dan investasi merupakan instrumen yang terbukti mampu mengurangi kemiskinan dalam empat dekade terakhir.

"Ini pertemuan yang tidak biasa, karena AS dalam komunikasi kebijakan globalnya menunjukkan perubahan sangat mendasar dengan pandangan bahwa hubungan perdagangan dan investasi serta kerja sama multilateral adalah merugikan mereka. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan semangat kerjasama G20," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata, Minggu (19/3).

Ia menjelaskan, hubungan perdagangan dunia telah memacu bangkitnya ekonomi dan pengurangan kemiskinan dari Jepang, Korea Selatan, Cina, ASEAN dan India, serta negara-negara di kawasan Asia Selatan. Maka itu, menurut dia, semestinya negara G20 memertimbangkan segala aspek untuk mendukung komitmen tersebut. (Baca juga: Ingin Ikut Badan Anti Pencucian Uang, Sri Mulyani Cari Dukungan G20)

Sri Mulyani pun menyinggung tentang komitmen negara G20 untuk menghindari devaluasi nilai tukar yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing produknya dalam perdagangan di masing-masing negara. Sayangnya, pandangan Sri Mulyani ini tak direspons positif oleh semua perwakilan negara yang hadir. Alhasil, kesepakatan mengenai pentingnya terus menjaga perdagangan dunia yang berdasarkan aturan global pun tidak dapat disepakati.

"Hasil tersebut sangat mengecewakan karena memberikan tanda bahwa aturan yang mengikat secara global tidak lagi menjadi dasar hubungan ekonomi dan perdagangan dunia, artinya negara kuat akan mendikte dan mendominasi hubungan menurut kepentingan mereka sendiri, bukan atas kepentingan bersama," tutur dia. (Baca juga: Sengketa Biodiesel, Indonesia Gugat Uni Eropa di WTO)

Melihat kondisi ini, Sri Mulyani menilai perlu ada upaya antisipasi oleh Indonesia dalam merumuskan kebijakan ekonomi ke depan. Ia pun mendorong negara anggota G20 untuk mempertegas komitmen mendukung strategi pertumbuhan yang lebih kuat, berkesinambungan, berimbang dan inklusif untuk menjaga momentum pertumbuhan global dalam jangka panjang.

Menurut dia, semua pilihan kebijakan termasuk moneter, fiskal dan reformasi struktural, harus digunakan secara bersama-sama dan saling mendukung untuk memaksimalkan usaha mendorong pertumbuhan global ke depan. Pada 2014 lalu, negara G20 menargetkan, pertambahan pertumbuhan kolektif sebesar dua persen dalam lima tahun.

Di sisi lain, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo pun menyampaikan dukungannya atas fokus dari pemerintah Jerman yang mendorong implementasi komitmen negara G20 pada dokumen Growth Strategy (strategi pertumbuhan), khususnya yang terkait reformasi struktural.

Ia juga mendukung penyusunan Panduan Ketahanan (Note of Resiliency) sebagai rujukan bagi negara G20 guna memperkuat ketahanan ekonomi, di tengah meningkatnya ketidakpastian global terkait arah kebijakan negara maju, risiko geopolitik, dan tren proteksionisme. (Baca juga: Sengketa Biodiesel, Indonesia Gugat Uni Eropa di WTO)

Namun, ia menekankan, upaya penguatan ketahanan itu harus didukung dengan penguatan Jaring Pengaman Keuangan Global (Global Financial Safety Net atau GFSN) dan Jaring Pengaman Keuangan Regional (Regional Financial Arrangement atau RFA). Maka itu, "Kami sambut baik pengembangan instrumen bantuan likuiditas baru IMF (International Monetary Fund) serupa fasilitas swap, yang diperuntukkan bagi negara anggota dengan fundamental ekonomi baik," ujarnya.

Dalam pertemuan G20, Agus menambahkan, Indonesia juga sepakat mengenai manajemen aliran modal (capital flows management atau CFM). Sebab, mengacu pada pengalaman Indonesia selama 35 tahun, keterbukaan aliran modal menimbulkan risiko berupa volatilitas aliran modal. Maka itu, CFM diperlukan sebagai pelengkap kebijakan makroekonomi guna melindungi ekonomi dan stabilitas keuangan domestik dari dampak rambatan global yang negatif.

Lebih lanjut, menurut dia, negara anggota G20 juga berkomitmen menuntaskan implementasi agenda reformasi sektor keuangan dengan tepat waktu. Reformasi yang dimaksud termasuk mendukung upaya mengatasi kerentanan struktural dari kegiatan pengelolaan aset, shadow banking, over the counter (OTC) derivatives, Central Counterparties (CCP), permodalan Basel 3, dan risiko misconduct.