Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) berencana mengklarifikasi datanya. Penjelasan ini terkait kajian yang menyatakan bahwa di Indonesia, harta empat orang terkaya setara 100 juta penduduk termiskin.
Juru Bicara Oxfam Indonesia Dini Widiastuti menjelaskan bahwa data tersebut diperoleh dari laporan Credit Suisse. "Pada dasarnya perhitungan datanya (dari) global wealth data box yang diproduksi Credit Suisse Research Institute. Bisa kelihatan prosentase share-nya," kata Dini kepada Katadata, Senin (27/2).
Klarifikasi dilakukan lantaran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut data tersebut bertolak belakang dengan data koefisien gini. (Baca juga: Ragukan Data Ketimpangan Oxfam, Darmin: Kok Gawat Benar?)
Menurut Dini, dalam laporan Credit Suisse disebutkan bahwa 40 persen atau 100 juta penduduk miskin Indonesia memiliki kekayaan 1,36 persen dari total kekayaan penduduk nasional. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kekayaan 40 persen penduduk termiskin Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau setara Rp 320 triliun.
Data tersebut kemudian disandingkan dengan data Forbes tentang daftar orang terkaya di Indonesia dan jumlah kekayaannya. Dari data tersebut diperoleh data bahwa total harta empat orang terkaya Indonesia mencapai US$ 25 miliar atau setara Rp 333 triliun. Ini artinya lebih besar dibanding harta 100 juta penduduk termiskin Indonesia.
Lebih jauh, Dini pun menjelaskan, data tersebut memang tak sejalan dengan koefisien gini lantaran dasar perhitungannya memang berbeda. "Metodenya pakai kekayaan, bukan income ataupun pengeluaran (seperti yang dipakai dalam perhitungan koefisien gini)," kata Dia. Ia pun berjanji akan segera memberikan klarifikasi terkait data-data tersebut. "Semoga besok," ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Darmin menjelaskan, dirinya lebih percaya jika yang dimaksud Oxfam adalah bahwa aset satu persen penduduk terkaya setara dengan 100 juta atau 40 persen penduduk termiskin Indonesia. Sebab, hal itu sesuai dengan koefisien gini yang mencapai 0,39 persen pada tahun lalu. Namun, ia meragukan data Oxfam bahwa kekayaan empat orang Indonesia setara dengan 100 juta orang termiskin.
"Ya kalau dikatakan satu persen penduduk (terkaya) Indonesia menguasai 40 persen (kekayaan penduduk termiskin), ya mungkin itu. Tapi kalau dibilang empat orang menguasai 100 juta penduduk termiskin, itu bertentangan dengan angka (koefisien gini)," ujar Darmin di Jakarta, Jumat (24/2) pekan lalu. Ia pun meminta Oxfam melakukan klarifikasi.
Namun, terlepas dari perdebatan soal data Oxfam, Darmin mengakui tingkat ketimpangan masih tinggi. “Ketimpangan memang memburuk. Siapa bilang enggak? Walaupun setahun terakhir tidak buruk dong,” kata dia.
Mengacu pada data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS), koefisien gini memang membaik setahun terakhir. Pada September 2016, angka rasio gini Indonesia tercatat 0,394 atau turun 0,014 dari Maret 2015 yang sebesar sebesar 0,408.
Koefisien gini adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan. Adapun perhitungan koefisien gini di Indonesia menggunakan data pengeluaran penduduk. (Baca juga: Ketimpangan September 2016 Turun, BPS: Lebih Dinikmati Kelas Menengah)
Guna menekan koefisien gini, Darmin mengatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan yang tengah dikembangkan yakni kebijakan ekonomi berkeadilan yang mencakup 10 sektor sasaran pemerataan.
Ke-10 sektor yang dimaksud yaitu reforma agraria; pertanian; perkebunan; masyarakat miskin perkotaan dan perumahan terjangkau; nelayan dan budidaya rumput laut; sistem pajak berkeadilan; manufaktur dan teknologi informasi dan komunikasi; pembiayaan dan anggaran pemerintah; vokasi; kewirausahaan dan pasar tenaga kerja; serta ritel dan pasar.