Rencana pengenaan pajak progresif pada tanah menganggur tampaknya perlu proses panjang. Sebab, wacana ini perlu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menuturkan bahwa rencana ini tidak mungkin dijalankan dalam waktu dekat. Alasannya, setiap pajak baru yang ingin terapkan harus melalui persetujuan DPR dengan merevisi Undang-Undang (UU).
"Karena setiap pajak yang dipungut harus dengan UU. Dan sampai sekarang belum masuk ke DPR soal pajak progresif tanah menganggur," ujar Misbakhun dalam sebuah diskusi di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu (8/2).
Misbakhun menilai, jika ingin mengimplementasikan rencana tersebut, pemerintah bisa memungutnya dari Pajak Bumi Bangunan (PBB) pemukiman dengan menghitungnya dari Nilai Jual Objek Properti (NJOP). Namun, kewenangan tersebut dipegang oleh Gubernur. Sementara, pemerintah pusat hanya memegang kewenangan terhadap NJOP perkebunan dan pertambangan.
(Baca juga: Pemerintah Khawatir Generasi Millenial Tak Bisa Beli Rumah)
"Lain lagi kalau lewat Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) kalau hanya faktor yang bikin spekulasi ditinggikan. Saya yakin itu akan sulit," ujar Misbakhun.
Meskipun demikian, Misbakhun menyatakan, Komisi XI sendiri tidak menolak rencana penerapan pungutan untuk tanah menganggur ini. Ia hanya mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menyusun aturan tersebut.
Sebabnya, saat ini Indonesia telah mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif ebesar 5,02 persen. Di mana, salah satu penyumbang pertumbuhan itu adalah industri properti.
Penerapan pajak yang gegabah, menurutnya dapat memutus siklus yang sedang tumbuh. "Kalau mereka sudah tumbuh dan stabil silahkan. Jangan saat mereka baru menuju pertumbuhan, mereka dikenakan di awal-awal dengan pajak ini," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengakui bahwa pemerintah harus mengubah UU jika mengenakan pajak progresif ini.
(Baca juga: Jokowi: Konsentrasi Lahan oleh Sekelompok Orang atau Korporasi)
Hanya saja, Yoga juga menyatakan bahwa pemerintah memiliki peluang melalui Pajak Penghasilan (PPh) final. Sebab, jenis pajak ini langsung dikenakan saat menerima objek atau sumber penghasilan tertentu. Mekanisme lain yaitu dengan pungutan melalui Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Yang pasti, pembahasan soal ini masih akan terus dilakukan secara intensif. Pemerintah sendiri menurutnya belum memutuskan skema penetapan pajak progresif ini melalui mekanisme apa. Bahkan, Yoga bahwa pihaknya belum menyadari adanya potensi pajak dari tanah menganggur ini.
"Kita belum bisa sampaikan kriteria apa saja dan berapa tarifnya, tapi nanti pasti akan kita sampaikan ke stakeholder terkait. Pemerintah pasti tidak akan keluarkan aturan yang tidak tepat sasaran," ujar Yoga.
Kemudian, CEO Urban Ace dan Anggota dari Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Ronny Wuisan mengatakan, sebagai pelaku pasar properti, kebijakan ini sebenarnya tidak diinginkan oleh para pelaku usaha. Pertumbuhan industri properti dinilai masih belum terlalu baik. Sehingga, adanya kebijakan ini akan semakin memukul industri.
(Baca juga: Tabungan Lahan Kawasan Industri dan Properti Tak Kena Pajak Progresif)
Menurut Ronny, pemerintah harus memiliki target yang tepat dalam pengenaan pajak progresif ini. Dirinya mencontohkan, para spekulan tanah per individu merupakan objek yang tepat terhadap pajak progresif ini.
"Kalau untuk pengembang, kalau pajak tanah besar, mereka tidak mau beli dan nantinya properti tidak laku, tidak ada konsumen yang mau beli karena harganya mahal," ujarnya.