Sepanjang tahun lalu, rupiah menjadi mata uang terbaik kedua setelah jepang di kawasan Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tahun ini, nilai tukar rupiah diperkirakan melemah seiring makin kuatnya tekanan perekonomian global. Namun, bank investasi internasional meramal rupiah tidak akan terpuruk seperti tahun 2013.
Mengacu pada survei Bloomberg, rupiah diprediksi masuk dalam jajaran mata uang yang bakal melemah cukup dalam tahun ini. Rupiah diramal melemah sekitar 2 persenan setelah berhasil menguat 2,3 persen sepanjang tahun lalu. Pelemahan sedalam itu juga diproyeksi bakal menimpa peso Filipina, yang sudah melemah lebih dari 5 persen tahun lalu.
Bath Thailand juga diproyeksi melemah hampir 2 persen tahun ini setelah berhasil menguat setengah persenan tahun lalu. Sedangkan ringgit Malaysia diperkirakan melanjutkan pelemahan sekitar 1 persenan, setelah tahun lalu melemah 4 persen. (Baca: Semarak Penutupan Bursa, IHSG Tumbuh Tertinggi Kedua di Asia)
Sekadar catatan, pada pekan pertama 2017 ini, nilai tukar rupiah masih betah bertengger di kisaran 13.400-an. Pada perdagangan di pasar spot, Rabu (4/1), rupiah dibuka di level 13.467 per dolar AS, menguat tipis dibanding hari sebelumnya yang sebesar 13.476.
Kepala Ekonom Goldman Sachs’ Andrew Tilton meyakini rupiah tidak akan mengalami depresiasi signifikan dari level saat ini. Alasannya, imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) sudah tinggi sehingga cukup menahan arus keluar modal asing dari pasar keuangan.
Sebelumnya, seperti dilansir Bloomberg, sejumlah mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah tertekan pada kuartal IV 2016 lalu. Penyebabnya, arus keluar modal asing pasca kemenangan Donald Trump dalam pemilihan Presiden AS. Di Indonesia, investor asing membukukan penjualan bersih US$ 2,8 miliar dari saham dan obligasi.
(Baca juga: Rapor 2016 Pemimpin Asia, Jokowi Mencetak Nilai Biru)
Kondisi tersebut mirip dengan kejadian pada 2013 lalu saat bank sentral AS memutuskan untuk menghentikan secara bertahap stimulus moneternya. Investor asing melepas kepemilikannya atas saham dan obligasi di negara-negara berkembang sehingga nilai tukar mata uang negara-negara tersebut tertekan.
Namun, Tilton optimistis, kondisi Indonesia tahun ini tidak akan seberat 2013 silam. Alasannya, indikator-indikator ekonomi Indonesia tercatat membaik. “Indonesia sudah membuat penyesuaian positif sejak taper tantrum di 2013, termasuk defisit transaksi berjalan yang menipis, utang luar negeri bruto yang menurun, dan cadangan devisa yang lebih tinggi, semuanya itu mengurangi kerentanan,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg, Rabu (3/1).
(Baca juga: Riset Dianggap Ganggu Stabilitas, JP Morgan Diputus Pemerintah)
Tilton meramalkan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,3 persen pada 2017, naik perkiraan pertumbuhan tahun lalu sebesar 5 persen. Meski begitu, masih ada risiko berupa batas defisit anggaran sesuai undang-undang dan tingginya sensitivitas rupiah terhadap kebijakan di AS dan arus modal.
“Kami tetap optimistis dengan ekonomi Indonesia,” katanya. Penyokong utama ekonomi yakni, konsumsi swasta dan investasi pemerintah seiring dengan masuknya dana dari hasil program pengampunan pajak (tax amnesty).