Sederet Persoalan Domestik Mengancam Ekonomi Tahun Depan

Donang Wahyu|KATADATA
23/12/2016, 11.18 WIB

Para ekonom meyakini, tantangan utama perekonomian Indonesia tahun depan dari dalam negeri jauh lebih berat dibandingkan dari kondisi ekonomi global yang masih tak menentu. Tantangan tersebut seputar masih lemahnya permintaan domestik, kenaikan inflasi, hingga rendahnya penerimaan negara.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, perbaikan ekonomi berjalan lamban seiring masih minimnya permintaan domestik. Hal ini terlihat dari rendahnya inflasi, pertumbuhan kredit, dan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) pada 2016 ini.

“Seolah-olah semuanya baik tapi ada beberapa kelemahan di recovery (perekonomian) Indonesia. Jadi recovery-nya relatif weak, dilihat dari core inflation yang menunjukkan lemahnya permintaan,” ujar Anton dalam acara Economi Outlook di Jakarta, Kamis (22/12). (Baca juga: BI Ramal Inflasi 2016 Terendah dalam 7 Tahun Terakhir)

Dengan perkembangan tersebut, Bank Mandiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya lima persen. Adapun pada 2017, pertumbuhan ekonomi diramal tak akan jauh berbeda dari tahun ini yaitu sebesar 5,1 persen. Kepala Ekonom Bank Mandiri bidang Riset Industri dan Wilayah Dendi Ramdani mengatakan, pertumbuhan ekonomi didukung oleh kenaikan beberapa harga komoditas seperti minyak, batubara dan nikel.

Harga minyak diperkirakan mencapai US$ 55-US$ 60 per barel di 2017. Sedangkan komoditas lainnya yaitu minyak sawit mentah (Crude Price Oil/CPO) diperkirakan US$ 650-US$ 700 per ton; batu bara US$ 70 per ton; karet US$ 2 per kilogram (kg); nikel US$ 10 ribu per ton; serta, tembaga US$ 4.850 per ton.

Menurut Dendi, kenaikan harga tersebut akan membantu pertumbuhan ekonomi di wilayah penghasil tambang ataupun perkebunan, sehingga mendorong perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Meski begitu, dampak kenaikan harga pada inflasi bakal jadi tantangan ke depan. (Baca juga: Kebijakan Trump Diprediksi Melunak, Indonesia Diuntungkan

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengungkapkan, kenaikan harga komoditas bisa memicu inflasi. Tahun depan, ia memperkirakan inflasi bisa mencapai 4,2 persen akibat kenaikan harga minyak dan perubahan administered price dari sisi Tarif Dasar Listrik (TDL). Namun, jika tak diatasi, inflasi berpeluang lebih dari lima persen sehingga bisa meningkatkan suku bunga acuan (BI 7Days Repo Rate).

“Sejauh ini kami perkirakan inflasi masih sesuai koridor Bank Indonesia (BI). Namun kalau inflasi enggak dijaga, (suku bunga acuan) bisa naik,” tutur Andry. Dalam waktu panjang, inflasi bisa menurunkan daya beli. (Baca juga: Jaga Daya Beli, Harga Premium dan Solar Tahun Baru Tak Berubah)

Sejauh ini, daya beli masyarakat juga rendah. Penjualan ritel, misalnya, cenderung stagnan di level 192,7 meskipun ada momen Natal dan Tahun Baru. Padahal, pada saat puasa dan lebaran, Indeks Penjualan Ritel mencapai 218,7. Kondisi serupa juga terjadi pada penjualan kendaraan bermotor. Bahkan, penjualan semen menurun 6,6 persen dibanding periode sama tahun lalu.

Rendahnya daya beli telah mengurangi minat ekspansi sektor riil. Total investasi atau gross fixed capital formation, misalnya, tumbuh stagnan lima persen sejak tahun lalu.

Dia mencatat, setidaknya ada tujuh perusahaan yang belanja modalnya (capital expenditure/capex) tidak meningkat yakni Semen Indonesia, Bukti Asam, Timah, United Tractors, Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Mandiri. Hanya Jasa Marga yang belanja modalnya naik dua kali lipat dari tahun ini.

Karena itu, mau tak mau pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan untuk mendorong perekonomian. Sayangnya, belanja pengeluaran ini terkendala penerimaan yang minim. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan negara baru mencapai Rp 1.319 triliun, sementara belanja sudah mencapai Rp 1.638,2 triliun per November lalu.

(Baca juga: Penerimaan Pajak Minim Ganjal Kenaikan Peringkat Kredit Indonesia)

Senada dengan Andry, Chief Economist Bank CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, penerimaan pajak memang menjadi persoalan fundamental ekonomi Indonesia. Akibat rendahnya peneriman pajak, Indonesia sulit mendapat peringkat investasi dari lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor’s (S&P). Untuk bisa meningkatkan penerimaan, perlu perbaikan basis pajak, administrasi perpajakan, dan penegakan hukum pajak.

“Dulu ada 28 persen atau sekitar Rp 3.800 triliun dari aktivitas ekonomi Indonesia yang tidak terjaring pajak. Tapi itu sekarang sudah tertangkap karena pengampunan pajak,” kata Andry.