Sri Mulyani: Target Ekonomi 2017 Harus Didukung Investasi Swasta

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
23/11/2016, 19.25 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen pada tahun depan cenderung hati-hati namun tetap harus optimistis. Meski begitu, pencapaian target tersebut membutuhkan peran lebih besar dari pihak swasta untuk meningkatkan investasinya.  

Sikap optimisme itu untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di atas lima persen. Sedangkan kehati-hatian dalam menghadapi tantangan yang muncul, baik dari eksternal ataupun internal.

“Target pertumbuhan 5,1 persen itu menggambarkan suatu titik yang seimbang antara optimsime dan kehati-hatian,” kata Sri Mulyani dalam acara Economic Outlook di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Rabu (23/11). (Baca: Ekonomi 2017 Mulai Pulih, Pemerintah Didorong Fokus Sektor Manufaktur)

Dari eksternal, perlambatan ekonomi global diperkirakan masih berlanjut yang diikuti rendahnya perdagangan dunia. Si Mulyani memperkirakan eskpor dan impor hanya tumbuh 0,2 persen 0,7 persen tahun depan. Apalagi, Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump menyatakan akan keluar dari Trans Pacific Partnership (TPP).

Di sisi lain, ke depan, Sri Mulyani melihat bahwa sektor pertambangan akan tumbuh lebih baik karena meningkatnya permintaan. Dengan begitu, bisa mengurangi risiko kenaikan kredit bermasalah di perbankan.

Sedangkan dari dalam negeri, dia melihat potensi kenaikan inflasi tahun depan. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga memperkirakan rencana pencabutan subsidi Tarif Dasar Listrik (TDL) untuk golongan 900 Volt Ampere (VA) akan berdampak pada peningkatan inflasi sebesar 0,95 persen. Karena itu, BI memproyeksikan inflasi tahun depan di kisaran 3-5 persen atau lebih tinggi dibanding proyeksi tahun ini 3,2 persen.

Meski begitu, Sri Mulyani memperkirakan konsumsi rumah tangga tetap bisa tumbuh sebesar lima persen. Sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh stabil di kisaran 4,8 persen. (Baca: BI: Belanja Besar dan Bunga Rendah Bisa Topang Ekonomi 2017)

Konsumsi pemerintah itu ditopang oleh target pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 13,5 persen dibanding proyeksi pencapaian tahun ini Rp 1.320,2 triliun. Alhasil, penerimaan pajak ditargetkan senilai Rp 1.498 triliun. Di sisi lain, belanja negara ditargetkan tumbuh 9,6 persen tahun depan menjadi Rp 2.080 triliun. Tujuannya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.

Namun, pemerintah juga mengharapkan peran swasta untuk menopang pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan realisasi investasi. “Pemerintah ‘is not only engine of growth’. Bahkan, tidak seharusnya. Ekonomi yang sehat pemerintah melakukan fungsi katalis, jadi pemicu kemudian swasta yang pick up lebih banyak.”

Dalam kesempatan terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara  lebih optimistis memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,2 persen. Ekonomi 2017 diyakini tumbuh lebih tinggi dari tahun ini meski menghadapi tantangan kondisi global yang tak menentu.

Menurut Mirza, dampak kemenangan Trump sebagai Presiden AS dengan semua rencana kebijakannya, memang memicu ketidakpastian perekonomian global. Kemungkinan kenaikan suku bunga dana bank sentral AS, The Federal Reserve, dapat mempengaruhi Indonesia. Sebab, Indonesia masih bergantung pada dana asing, terutama dollar AS.

Sedangkan dari sisi makroekonomi Indonesia jauh lebih sehat. Mirza mengklaim, defisit anggaran yang hanya 2 persen, inflasinya juga jauh lebih rendah, dan rasio utang luar negeri swasta juga bisa terkendali, menjadikan Indonesia akan siap menghadapi tekanan perekonomian global.

(Baca: Tiga Alasan BI Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2017)

"Tidak perlu khawatir. 2017 ini, BI percaya diri pertumbuhan ekonomi lebih baik dari tahun ini. Tapi paling tidak harusnya bisa 5,2 persen," ujar Mirza dalam acara CORE Economic Outlook 2017 di Jakarta, Rabu (23/11).

Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini mengungkapkan, pendorong ekonomi Indonesia adalah dari investasi. Namun, pemerintah harus bisa memastikan investasi tersebut dapat menjadi solusi untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Kemudian, investasi tersebut juga harus didorong menuju sektor manufaktur, yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

"Kami, tahun 2017 melihat pertumbuhan ekonomi bisa sampai 5,2 persen. Ada beberapa prasyarat tersebut, tapi memang ini prediksi yang semestinya tidak terlalu optimis," ujarnya.