Pemerintah optimistis penerimaan negara dari pajak dan bea cukai dapat meningkat di akhir tahun ini. Optimisme itu didukung oleh menggeliatnya aktivitas perdagangan dan kenaikan dana tebusan dari program pengampunan pajak (tax amnesty).

Hingga September lalu, penerimaan negara baru mencapai Rp 1.081,2 triliun atau 60,5 persen dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016 sebesar Rp 1.786 triliun. Rendahnya penerimaan tersebut terutama dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 896,1 triliun.

Penerimaan perpajakan itu terdiri dari bea dan cukai Rp 103,7 triliun dan pajak Rp 792,4 triliun. Padahal, target penerimaan bea dan cukai tahun ini Rp 183,9 triliun, sedangkan target pajak Rp 1.318 triliun. (Baca juga: Jaga Anggaran Negara, Sri Mulyani Minta Pegawainya Tak Khianat)

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, rendahnya penerimaan karena perdagangan internasional – ekspor dan impor - melambat. Ia berharap, perdagangan meningkat pada November dan Desember nanti, imbas Hari Raya Natal dan Tahun Baru.

“Volume perdagangan akhir tahun biasanya meningkat, jadi kegiatan importasi itu ada peningkatan. Kami monitor di situ,” ujar Heru di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (31/10).

Ia merinci, sejauh ini penerimaan bea dan cukai berasal dari bea masuk Rp 22,9 triliun, cukai Rp 78,6 triliun, dan bea keluar Rp 2,2 triliun. Sebelumnya pemerintah memperhitungkan, risiko selisih antara target dengan penerimaan (shortfall) dari bea masuk hanya sebesar Rp 1 triliun karena penurunan volume impor.

Direktorat Jenderal Pajak juga berharap penerimaan meningkat jelang akhir tahun disokong oleh penerimaan dari program pengampunan pajak periode kedua. “Lumayan (realisasi), tidak luar biasa. Tapi sesuai prediksi kami, semoga November mulai tax amnesty lagi. Kami usahakan November dan Desember lah,” ujar Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal.

Akibat masih lemahnya penerimaan negara, defisit anggaran tahun ini diperkirakan bakal melebar hingga 2,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 338,8 triliun. (Baca juga: Sri Mulyani Janji Tak Akan Teruskan Strategi Ijon Pajak)

Hingga September lalu, defisit anggaran mencapai Rp 224,3 triliun atau 1,7 persen dari PDB. Penyebabnya karena penerimaan yang baru mencapai Rp 1.081,2 triliun, sedangkan belanja negara sudah sebesar Rp 1.305,5 triliun. 

Adapun rincian belanja negara yang sudah terealisasi yakni belanja pemerintah pusat Rp 767,7 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 537,8 triliun. Belanja pemerintah pusat tersebut terdiri atas Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp 482,6 triliun dan non K/L Rp 339,1 triliun berturut-turut.