Tumbuh Melambat, BKPM Klaim Minat Investasi Masih Tinggi

Arief Kamaludin|KATADATA
Pembangunan gedung perkantoran di Jakarta.
Penulis: Miftah Ardhian
28/10/2016, 12.20 WIB

Memasuki awal tahun ini, pertumbuhan realisasi investasi cenderung melambat. Meski begitu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memastikan minat investasi di Indonesia masih tinggi.

BKPM mencatat total realisasi investasi sepanjang Januari-September tahun ini sebesar Rp 453,4 triliun, meningkat 13,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meski naik, pertumbuhannya terlihat melambat dibandingkan kuartal III tahun lalu yang mencapai 16,7 persen.

Laporan lembaga internasional AT Kerney dari hasil surveinya FDI Confidence Index juga terlihat Indonesia tidak termasuk dalam 25 negara tujuan utama investasi. Indonesia keluar dari daftar negara-negara yang diminati investor dalam survei tersebut sejak 2014.

(Baca: Realisasi Investasi Triwulan III-2016 Hanya Tumbuh 10,7 Persen)

Kepala BKPM Thomas Lembong mengakui hasil survei ini memang bisa dijadikan acuan untuk terus melakukan perbaikan proses pengurusan investasi di Indonesia. Apalagi persaingan di tingkat regional semakin sengit.Negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina juga gencar membuka diri, mereformasi diri, dan mempercepat proses perizinan. Maka, Indonesia juga harus terus melakukan hal tersebut.

Tren Pertumbuhan Realisasi Investasi (Katadata)

"Kita (Indonesia) amat beresiko ketinggalan dari negara-negara regional lainnya.," ujar Lembong di Kantor BKPM, Jakarta, Kamis (27/10).

(Baca: Pesimistis, BKPM Perkirakan Pertumbuhan Investasi 2016 Melambat)

Meski demikian Lembong masih yakin bahwa minat investor untuk menanmkan modalnya di Indonesia cukup tinggi. Ini terlihat dari hasil survei yang dilakukan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) terhadap pimpinan perusahaan multinasional. Hasil survei tersebut menunjukkan Indonesia berada di peringkat 9 negara tujuan utama investasi.

Selain itu, Bank Dunia (World Bank) juga mengapresiasi langkah pemerintah melakukan perbaikan kemudahan usaha. Dalam hasil surveinya Ease of Doing Business (EODB) 2017, peringkat Indonesia naik 15 level, dari 106 tahun lalu, ke peringkat 91 dari 289 negara.

(Baca: Jokowi Belum Puas dengan Kenaikan Peringkat Kemudahan Usaha)

Menurutnya laporan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara teratas yang memperbaiki tujuh indikator sekaligus, berdampingan dengan Kazakhtan. Sementara negara lainnya seperti Uni Emirat Arab, Kenya, dan Georgia melakukan reformasi di lima indikator, posisi selanjutnya diisi oleh Pakistan, Serbia, dan Bahrain yang memperbaiki tiga indikator.

Lembong mengaku belum puas dengan hasil pencapaian di EODB dan realisasi investasi yang masih bisa tumbuh di tengah perekonomian dunia yang sedang melambat. "Tapi memang kita tidak bisa puas. Ibarat dulu minum racun tikus, sekarang kita minum obat nyamuk, belum minum jus," ujarnya.


Negara Tujuan Investasi Dunia Menurut UNCTAD 2016

Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Azhar Lubis mengatakan, minat investasi ke Indonesia memang masih cukup tinggi. Pernyataannya ini mengacu pada komitmen investasi dri sejumlah investor asing yang akan ingin masuk ke Indonesia.

BKPM mencatat komitmen investasi sepanjang Januari-September tahun ini nilainya sangat besar, mencapai Rp 1.800 triliun. Azhar menyatakan pihaknya akan fokus untuk merealisasikan komitmen ini dan tetap optimis bahwa ke depannya realisasi dan minat investasi akan terus meningkat. "Makanya pemerintah sekarang tetap melanjutkan deregulasi, reformasi hukum, dan penyederhanaan perizinan," ujarnya.

(Baca: Pertama dalam 5 Tahun, Investasi Asing di Indonesia Menurun)

Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan naiknya peringkat Indonesia dalam EODB menunjukan bahwa pemerintah secara konsisten terus mendorong kemudahan membangun bisnis di dalam negeri. Paket-paket kebijakan ekonomi, seperti deregulasi dan pemangkasan aturan daerah mampu memperbaiki perizinan usaha yang selama ini menghambat investasi.

Program percepatan pembangunan infrastruktur juga diharapkan dapat meningkatkan konektivitas antar pusat industri. Hal ini bisa menekan biaya logistik di Indonesia yang selama ini cukup tinggi di antara negara-negara lain.

Namun, Josua juga memberikan catatan bahwa masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah. Pertama, penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah, karena selama ini masih banyak ditemukan tumpang tindih peraturan dan menghambat investasi. Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur.

Ketiga, pemberantas korupsi dalam bentuk apapun, termasuk pungutan liar (pungli). Pemberantasan korupsi ini dianggap menjadi salah satu faktor yang dapat mendongkrak peringkat Indonesia dalam EODB. Bahkan menurutnya, jika praktik korupsi dan pungli ini bisa diberantas, peringkat Indonesia dalam OEDB bisa naik ke posisis 50.

"Selain itu, Pemerintah juga perlu mengarahkan investasi di sektor pengolahan atau manufaktur, sehingga investasi cenderung akan mempunyai efek berganda untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Josua.