Pemerintah sudah menentukan strategi untuk mengejar target penerimaan negara tahun depan. Strategi itu antara lain melanjutkan reformasi di bidang perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga dapat mencapai target peningkatan penerimaan perpajakan 2017 sebesar 13-15 persen dari realisasi tahun ini.
Secara keseluruhan, target penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar Rp 1.750,3 triliun. Nilainya naik Rp 12,7 triliun dari usulan semula dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2017. Dari target tersebut, penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) direncanakan sebesar Rp 1.498,9 triliun dan Rp 250 triliun.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, target penerimaan perpajakan tersebut naik 13-15 persen dari realisasi penerimaan tahun ini. Tapi, jika dibandingkan dengan target perpajakan dalam APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 1.539,2 triliun maka target tahun depan tersebut malah lebih rendah. (Baca juga: Ditjen Pajak Desak Penunggak Pajak Segera Ikut Tax Amnesty)
Ia menjelaskan, target-target tersebut sudah disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang realistis. “Target ini juga sudah mempertimbangkan hasil pelaksanaan pengampunan pajak (tax amnesty) tahap pertama,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (26/10).
Untuk mencapai target-target tersebut, pemerintah akan melanjutkan reformasi di bidang perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sebelumnya, Sri Mulyani memastikan tak bakal menggunakan strategi ijon pajak untuk menggenjot penerimaan. Strategi ijon pajak pernah diambil Menteri Keuangan terdahulu, Bambang Brodjonegoro, lantaran tingginya target penerimaan pada 2015.
(Baca juga: Sri Mulyani Janji Tak Akan Teruskan Strategi Ijon Pajak)
Secara garis besar, terdapat lima langkah yang akan dilakukan Sri Mulyani untuk mengejar penerimaan negara. Pertama, meningkatkan potensi perpajakan. Kedu, perbaikan kualitas pemeriksaan dan penyidikan. Ketiga, penyempurnaan sistem informasi teknologi.
Keempat, peningkatan pengawasan dan pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai. Kelima, pemberian insentif fiskal bagi kegiatan ekonomi strategis.
Dari sisi belanja, pemerintah menaikkan anggaran Rp 10 triliun dari usulan awal menjadi Rp 2.080,5 triliun tahun depan. Belanja tersebut terdiri dari kementerian dan lembaga (K/L) dan non K/L masing-masing Rp 763,6 triliun dan Rp 552 triliun. Adapun anggaran transfer daerah dan dana desa masing-masing Rp 704,9 triliun dan Rp 60 triliun.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sependapat untuk melanjutkan efisiensi belanja operasional yang prioritas. Selain itu, penajaman belanja non-operasional di K/L dengan tetap menjaga kualitas pelayanan kepada masyarakat.
(Baca juga: Sistem Keuangan Stabil Berkat Tax Amnesty dan Pemotongan Belanja)
Karena itu, defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan. Sebelumnya, Sri Mulyani mengatakan bahwa defisit anggaran merupakan hal yang sulit dihindari. Sebab, belanja memang dibutuhkan untuk menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi.
Ia pun berharap, beban utang dan tambahan utang yang dilakukan tahun depan bisa menghasilkan kegiatan ekonomi yang produktif sehingga bisa mengurangi beban utang ke depannya. “Belanja memang dibutuhkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Sementara penerimaan negara juga cukup ambisius, dengan memacu pertumbuhan penerimaan perpajakan sekitar 13-15 persen. Maka defisit tidak bisa dihindari,” katanya.