Pemerintah telah menggelontorkan uang Rp 398,1 triliun sejak Januari hingga September lalu untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Jumlahnya setara dengan 36,8 persen dari total realisasi penerimaan negara hingga akhir September lalu yang mencapai Rp 1.081,2 triliun.

Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan yang dilansir Oktober ini, pembayaran utang sebesar Rp 398,1 triliun tersebut terdiri dari pokok utang Rp 251,55 triliun dan bunga Rp 146,55 triliun. (Baca juga: Terus Naik, Utang Luar Negeri Pemerintah Hampir Samai Swasta)

Sebagai informasi, semula dalam APBN Perubahan 2016, pemerintah menargetkan penerbitan utang baru sebesar Rp 713,75 triliun. Utang baru tersebut dialokasikan untuk beberapa pos. Perinciannya, membayar utang lama sebesar Rp 322,34 triliun, menutup defisit anggaran yang sebesar 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 296,72 triliun, dan pembiayaan nonutang Rp 94,69 triliun.

Meski begitu, utang baru berpeluang bertambah. Salah satu penyebabnya adalah defisit anggaran berpotensi membengkak seiring dengan seretnya penerimaan negara. Jika pembengkakan mencapai 2,7 persen terhadap PDB, maka nominal deifisit bisa bertambah sekitar Rp 37-39 triliun menjadi Rp 333,7 triliun hingga Rp 335,7 triliun. Tambahan defisit ini bakal kembali dibiayai dengan utang.

(Baca juga: Defisit Bertambah, Pemerintah Siapkan Obligasi Rp 39 Triliun)

Adapun total utang pemerintah pusat hingga Sepetember lalu mencapai Rp 3.444,82 triliun. Artinya, terdapat kenaikan utang sebesar 8,1 persen dari posisi akhir Desember 2015 yaitu Rp 3.165,13 triliun. Rinciannya, pinjaman sebesar Rp 744 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.701 triliun.

Sepanjang September 2016, pinjaman luar negeri bilateral terbesar berasal dari Jepang yaitu senilai Rp 225,95 triliun. Sedangkan pinjaman luar negeri multilateral terbesar masih berasal dari Bank Dunia yaitu Rp 224,37 triliun dan Bank Pembangunan Asia sebesar Rp 118,97 triliun.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, berutang sebenarnya sah-sah saja. Namun, pemerintah harus benar-benar memastikan tujuannya untuk kegiatan produktif.

Dia mengacu kepada Jepang yang rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, namun tidak menimbulkan gejolak berarti pada perekonomiannya. Adapun rasio utang Indonesia berada di bawah 30 persen terhadap PDB. (Baca juga: Tax Amnesty Bisa Kerek Peringkat Indonesia ke Layak Investasi)

Persoalannya, "Kita tambah utang tapi defisit keseimbangan primer juga meningkat," kata Enny di Jakarta, Kamis (20/10). Sekadar catatan, defisit keseimbangan primer menunjukkan adanya utang yang digunakan untuk membayar utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut. Ibaratnya, gali lubang tutup lubang.

Enny menganjurkan agar pemerintah memperbesar peran swasta ataupun Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam membangun sejumlah proyek. Tujuannya, sebagai alternatif pembiayaan. Adapun pembiayaan pemerintah dapat dialokasikan hanya pada urusan yang strategis dan penting sekali. "Minimalis saja untuk yang penting-penting, anggaran pemerintah untuk public goods saja," kata dia. (Baca juga: Pemerintah Klaim Berhasil Mulai Proyek Kerjasama dengan Swasta)