Sejak menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati kerap membincangkan kemiskinan dan upaya menanganinya, terutama di negara-negara berkembang. Sehari sebelum diangkat menjadi Menteri Keuangan pada Agustus lalu, dia juga memasukkan topik tersebut dalam pidatonya di Universitas Indonesia.
Kini, setelah kembali memangku posisi tersebut, persoalan “rakyat jelata” tetap menjadi perhatiannya. Saat ini, tingkat kemiskinan Indonesia sudah turun menjadi 10,86 persen. Namun, angka tersebut berjalan semakin melambat dalam satu dekade terakhir, walau Indonesia masuk sebagai negara dengan pendapatan menengah di dunia.
Untuk mengikis problem sosial ini, pemerintah akan berfokus pada dua hal penting. Pertama, memberikan pelayanan mendasar bagi seluruh rakyat, terutama bagi keluarga miskin dan rentan miskin. Kedua, pembenahan kebijakan fiskal. Sri yakin dua hal itu dapat menghapuskan kemiskinan. (Baca: Bank Dunia: Indonesia Turut Dorong Penurunan Kemiskinan Dunia).
Dalam langkah pertama, pemerintah mesti memastikan dua kelompok masyarakat tadi memperoleh pelayanan dasar secara merata. Misalnya, tersedianya air bersih, sanitasi, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Karena itu, pemerintah sedang giat membangun infrastruktur secara merata di setiap pelosok daerah di Indonesia.
Selain itu, anggaran pendidikan telah berada di angka Rp 400 triliun, jauh meningkat dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang hanya sekitar Rp 50 - 70 triliun. Namun, pemerintah perlu memperketat pengawasan dalam penggunaan anggaran. Sebab, masih juga ditemukan sekolah yang bisa dikategorikan tidak layak untuk digunakan.
“Rp 400 triliun, tapi masih ada 50 ribu ruangan kelas yang rusak berat. Rp 100 triliun untuk kesehatan, tapi masih ada yang belum diimunisasi,” kata Sri di Gedung Djakarta Theater XXI, Jakarta, Senin malam, 17 Oktober 2016. (Baca juga: Dua Resep Sri Mulyani Menghadapi Badai Ekonomi).
Langkah kedua yakni terkait dengan kebijakan fiskal. Dalam instrumen ini, Sri menekankan dua hal penting. Pertama, penerimaan, terutama terkait perpajakan. Sri mengatakan pajak merupakan instrumen yang sangat penting. Dengan pajak, dana yang dikumpulkan dari berbagai orang kaya menjadi redistribusi untuk menggalakan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin. Kalau semua orang telah taat bayar pajak, Sri yakin, perekonomian Indonesia dapat tumbuh dan kemiskinan teratasi.
Selain itu, pajak juga merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut membantu dan bergotong royong dalam memberantas kemiskinan. Terlebih, Indonesia akan semakin dihormati negara lain karena mampu memberi pelayanan mendasar bagi publik. Bahkan, dana tersebut bisa untuk pendidikan dan penelitian.
Kedua, terkait dengan belanja negara. Pemerintah akan berhati-hati dalam membelanjakan anggaran. Pengahapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kata Sri, memang terasa memberatkan masyarakat. Namun jika tidak dilakukan, alokasi sebagian besar dana tersebut tidak tepat sasaran dan pembangunan infrastruktur terhambat.
Walau demikian, Sri mengingatkan pembangunan infrastruktur bukan hanya kereta api, jalan, tol, atau pelabuhan semata. Juga, sarana sanitasi yang terkesan kurang 'seksi' untuk dibangun, harus mendapat perhatian serius. (Baca: Maret 2016, Ketimpangan Ekonomi Kembali Turun).
Untuk itu, Sri mengajak seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi belanja negara ini. Harapannya, anggaran negara yang mencapai sekitar Rp 2.000 triliun dapat dibelanjakan dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat. “Mengatasi kesenjangan adalah hal yang paling pelik, tapi bisa dilahirkan. Dia membutuhkan dana dan butuh pemikiran. Butuh Anda semua,” ujar Sri.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves menyatakan dalam mengatasi ketimpangan, terutama ketimpangan peluang untuk memperoleh kesempatan dan hak yang sama, merupakan syarat mutlak mengakhiri kemiskinan ekstrem di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus berani berinvestasi pada pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Hal ini diharapkan dapat meredam ketimpangan yang cukup tinggi di Indonesia. “Kabar buruknya, ketimpangan di Indonesia masih tinggi. Tapi saya tetap optimistis dengan negara ini,” ujar Rodrigo.