Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ketidakpatuhan dalam pengelolaan keuangan negara tahun lalu yang menimbulkan kerugian sebesar Rp 1,92 triliun. Ketidakpatuhan pengelolaan keuangan tersebut terutama terjadi di daerah.
Kepala BPK Harry Azhar Azis memaparkan, kerugian negara terbesar berasal dari pemerintah daerah dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Nilai kerugiannya mencapai Rp 1,2 triliun. Sedangkan kerugian negara dalam pengelolaan keuangan pemerintah pusat senilai Rp 659,3 miliar. Adapun, kerugian negara dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 35,3 miliar.
"Ini untuk angka kerugian negara dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2016," kata Harry, saat menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2016 oleh BPK saat rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Selasa (4/10). (Baca: Usut Korupsi Keuangan Negara, BPK Bentuk Unit Audit Investigasi)
Selain kerugian negara, menurut dia, BPK menemukan pula potensi kerugian negara senilai Rp 1,67 triliun dari ketidakpatuhan dalam pengelolaan keuangan negara tahun lalu. Perinciannya, ketidakpatuhan itu berasal dari 10.198 temuan yang memuat 15.568 permasalahan dari total 696 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pemerintah.
Harry merinci, 49 persen permasalahan dari 10.918 temuan tersebut akibat kelemahan sistem pengendalian. Sedangkan 51 persen permasalahan berasal dari ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan dengan total nilai mencapai Rp 44,6 triliun.
"Dari ketidakpatuhan, total permasalahan berdampak finansial mencapai Rp 30,6 triliun yang terdiri dari Rp 1,92 triliun kerugian negara dan Rp 1,67 triliun potensi kerugian negara," katanya. Harry juga menambahkan, ada pula permasalahan yang mengakibatkan kekurangan pada penerimaan senilai Rp 27 triliun.
(Baca: BPK Temukan Kebijakan Pangan Nasional Bermasalah)
Menurut dia, pemerintah telah menindaklanjuti permasalahan berdampak finansial senilai Rp 30,6 triliun tersebut dengan penyerahan aset ataupun usaha lainnya untuk disetorkan ke kas negara. Jumlah yang sudah disetor mencapai Rp 442,2 miliar. "Angka yang sudah disetorkan sendiri mencapai 1 persen," katanya.
Pemerintah selaku objek dari pemeriksaan ini wajib menindaklanjuti temuan BPK. Jika dibiarkan maka pejabat terkait terancam sanksi pidana paling lama enam bulan atau denda Rp 500 juta. Hal ini sesuai dengan Pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
"Walau ada perbaikan tapi pemerintah harus terus-menerus meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan keuangan negara," kata Harry. (Ekonografik: Sejumlah Kontroversi Audit BPK)
Sebagai gambaran, BPK sejak tahun 2010 sampai semester I 2016 telah menyampaikan 283.294 rekomendasi dengan nilai Rp 247,8 triliun. Sedangkan pemerintah telah menindaklanjuti rekomendasi tersebut dengan menyetorkan uang kas dan penyerahan aset senilai Rp 37,6 triliun.
Adapun sejak periode 2003 sampai semester I 2016, BPK telah menyampaikan temuan yang terindikasi berunsur pidana sebanyak 231 surat yang berisi 446 temuan pemeriksaan senilai Rp 44,6 triliun. Pemerintah dalam hal ini telah menindaklanjuti 94 persen di antaranya dengan nominal Rp 42,3 triliun.