Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada September lalu mencapai 0,22 persen atau 3,07 persen secara tahunan (year to date). Angkanya berbalik arah dibandingkan bulan Agustus lalu yang mencatatkan deflasi 0,02 persen. Salah satu penyebab utama inflasi bulan lalu adalah isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus.
Deputi Bidang Statistik Distibusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, harga rokok mengalami kenaikan sebesar satu persen pada September lalu. “Kenaikan satu persen itu karena isu (kenaikan harga),” katanya usai konferensi pers BPS di Jakarta, Senin (3/10).
BPS mencatat, kenaikan harga rokok kretek menyumbang 0,02 persen dan rokok putih 0,01 persen terhadap angka inflasi September 2016. Meski begitu, ia meyakini, adanya kepastian dari pemerintah terkait kenaikan cukai rokok sebesar 10,5 persen tahun depan akan meredam ekspektasi inflasi dari komponen tersebut.
Sasmito pun tidak yakin inflasi dari kenaikan harga rokok akan berpengaruh besar ke depan. (Baca juga: Perbesar Dana Kesehatan, Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Rokok)
Seperti diketahui, Pemerintah memutuskan menaikkan cukai rokok sebesar 10,5 persen pada 2017. Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Jumat pekan lalu. Kenaikan tarif tertinggi dialami jenis tembakau sigaret putih mesin (SPM) sebesar 13,4 persen. Sedangkan tarif terendah sebesar 0 persen untuk jenis tertentu hasil tembakau sigaret kretek tangan (SKT). Adapun secara rata-rata, SKT mengalami kenaikan 8,6 persen. Sementara untuk sigaret kretek mesin (SKM) naik 10,5 persen.
Meski terimbas harga rokok, Sasmito menjelaskan, penyumbang inflasi terbesar pada September lalu adalah harga cabai merah yang naik sebesar 18 persen, diikuti kenaikan tarif pulsa 2,85 persen dan sewa rumah 0,53 persen. Kenaikan sewa rumah paling besar terjadi di Batam sebesar enam persen, sedangkan di Jakarta dan Watampone dua persen.
Kepala BPS Suhariyanto menyampaikan, dari komponen bahan makanan, cuma cabai merah yang mengalami kenaikan harga. Adapun secara keseluruhan, bahan makanan mengalami penurunan harga atau deflasi 0,07 persen. Faktor pendorong deflasi yakni penurunan harga beras dan telur ayam. (Baca juga: Menteri Sri Mulyani Waspadai Efek Deflasi Agustus)
Sementara itu, makanan dan minuman jadi terpantau mengalami kenaikan harga sebesar 0,34 persen. Penyebabnya, kenaikan harga minuman beralkohol, serta makanan dan minuman jadi.
Adapun di kelompok perumahan terjadi inflasi 0,29 persen. Penyebabnya, sewa harga rumah yang menyumbang 0,03 persen terhadap inflasi, kenaikan harga bahan bangunan dan ongkos perbaikan rumah, serta kenaikan tarif listrik yang berkontribusi 0,02 persen terhadap inflasi.
“Dari sisi transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mengalami kenaikan 0,19 persen. Penyumbangnya dari pulsa naik 0,05 persen dan andil deflasi dari penurunan tarif angkutan udara,” kata pria yang akrab disapa Ketjuk ini.
Lebih jauh, Ketjuk menjelaskan, inflasi inti pada September lalu tercatat sebesar 0,33 persen atau 3,21 secara tahunan. Inflasi inti ini disebabkan oleh kenaikan tarif pulsa dan biaya perguruan tinggi.
Sedangkan inflasi non-inti berupa inflasi atas harga yang diatur pemerintah (administered price) tercatat 0,14 persen atau deflasi 0,38 persen secara tahunan. Adapun inflasi non-inti berupa harga yang bergejolak di kelompok makanan (volatile food) tercatat deflasi 0,09 persen atau inflasi 6,51 persen secara tahunan.
Sasmito menambahkan, inflasi dari bahan makanan perlu diwaspadai hingga akhir tahun nanti. Sebab, pada akhir tahun ini terjadi musim hujan yang biasanya berpengaruh terhadap produksi pangan, terutama cabai. Apalagi, pada Desember ini diperkirakan terjadi paceklik.