Tren penguatan mata uang rupiah terus berlanjut hingga akhirnya menembus level Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Salah satu faktor utama penopang penguatan rupiah adalah aliran masuk dana dari luar negeri (repatriasi) yang semakin deras menjelang batas akhir periode pertama program pengampunan pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) bulan September ini.
Pada perdagangan di pasar spot, Selasa (27/9) pagi ini, rupiah sudah bertengger di posisi 12.903 per dolar AS, atau menguat 1 persen dibandingkan hari sebelumnya. Jika mampu terus bertahan hingga akhir perdagangan sore nanti, ini merupakan posisi tertinggi rupiah sejak 16 bulan terakhir pada Mei 2015 lalu.
Sedangkan berdasarkan kurs tengah JISDOR di Bank Indonesia (BI), rupiah juga menguat 0,4 persen dari hari sebelumnya menjadi Rp 13.027 per dolar AS. (Baca: Repatriasi Dana dari Singapura Rp 33 Triliun dalam Tiga Pekan)
Meski dalam rentang yang sempit, rupiah memang terus menguat sejak Jumat pekan lalu. Sedangkan jika dilongok sejak awal pekan ini, rupiah telah menguat 2,8 persen dari posisi 13.270 per dolar AS pada 31 Agustus lalu. Adapun sejak awal tahun ini, rupiah sudah menguat 5,5 persen.
Pencapaian di pasar valuta asing (valas) ini tidak sejalan dengan di bursa saham. Pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa pagi ini, indeks harga saham gabungan (IHSG) malah melorot 0,66 persen menjadi 5.317.
Kepala Riset Monexindo Ariston Tjendra melihat, penguatan tajam rupiah ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Dari luar negeri, bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve, belum menaikkan suku bunga dananya pada September ini.
Dari dalam negeri, ada perkembangan positif program amnesti pajak dan data-data ekonomi Indonesia yang masih mendukung.
“Inflasi di level rendah, pertumbuhan ekonomi membaik, dan neraca dagang masih surplus,” katanya kepada Katadata, Selasa (27/9). Namun, Ariston memperkirakan, rupiah berpeluang kembali ke level 13.000 per dolar AS pada akhir tahun nanti jika bank sentral AS jadi mengerek suku bunganya.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, jumlah penyertaan harta program pengampunan pajak hingga Selasa pagi ini mencapai Rp 1.973 triliun atau melonjak 12 kali lipat dari akhir Agustus lalu. Dari jumlah itu, harta yang direpatriasi ke dalam negeri sebesar Rp 101,2 triliun atau melonjak 10 kali lipat dibandingkan akhir Agustus lalu yang masih sebesar Rp 9,4 triliun.
(Baca: Rupiah Menguat Tajam bila Dana Repatriasi Rp 130 Triliun)
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan, Warga Negara Indonesia (WNI) di Singapura mendominasi repatriasi harta dari luar negeri sebesar Rp 39,5 triliun per Senin kemarin (26/9). Jumlahnya bertambah sekitar Rp 33,5 triliun dari Senin tiga pekan lalu (5/9) yang masih sebesar Rp 6 triliun. Selanjutnya, repatriasi dana WNI dari Cayman Islands Rp 16,36 triliun, Hong Kong Rp 12,43 triliun, Cina Rp 3,52 triliun, dan British Virgin Islands Rp 1,87 triliun.
"Perolehan dana akan terus meningkat hingga batas akhir periode pertama," katanya di Jakarta, Senin (26/9). Apalagi, pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berencana mengikuti program ini secara serentak hari ini. Alhasil, ruang penguatan rupiah masih terbuka lebar dalam beberapa hari ke depan.
(Baca: BI: Tax Amnesty Membuat Rupiah Lebih Kuat Tahun Depan)
Sebelumnya, Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menyatakan, bila pemerintah berhasil menarik dana repatriasi sebesar Rp 130 triliun maka akan berdampak signifikan terhadap kurs rupiah. Hitungannya, tambahan US$ 10 miliar atau sektar Rp 130 triliun bisa membuka peluang penguatan kurs rupiah sekitar 300 sampai 500 poin. “Kalau Rp 130 triliun saja masuk berarti ada tambahan US$ 10 miliar. Rupiah bisa 12.500 per dolar AS,” katanya, 6 September lalu.