Genjot Ekonomi, Pemerintah Didorong Perlebar Defisit Anggaran

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
20/9/2016, 11.58 WIB

Untuk mengatasi minimnya penerimaan negara, pemerintah telah memangkas dua kali belanja kementerian/lembaga dan daerah. Bahkan ada wacana untuk kembali menyunat biaya pengeluaran untuk menjaga defisit anggaran di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai Rp 12.548 triliun.

Namun, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan sebenarnya pelebaran defisit merupakan langkah tepat saat penerimaan minim. Sebab, pengeluaran pemerintah menjadi satu-satunya penggerak ekonomi ketika investasi swasta, konsumsi rumah tangga, dan ekspor masih rendah. Pertumbuhan ekonomi yang membaik diharapkan memacu sektor riil berinvestasi sehingga mendorong penerimaan pajak tahun depan.

Tahun ini, pemerintah mematok ekonomi tumbuh 5,2 persen. Salah satu yang diharapkan menjadi penopang yakni program pengampunan pajak atau tax amnesty. Namun, hingga pertengahan September, penerimaan uang tebusan tax amnesty baru sekitar 20 persen dari target Rp 165 triliun. (Baca: Pemerintah Perlu Maksimalkan Ruang Pelebaran Defisit Anggaran).

Defisit anggaran pun diperkirakan makin melebar dari 2,35 persen terhadap PDB -sekitar Rp 296,7 triliun- dalam APBN Perubahan 2016 menjadi 2,7 persen -setara Rp 338,8 triliun. Angka terakhir merupakan perubahan yang ketiga. Awalnya, pemerintah menetapkan defisit anggaran 2,15 persen lalu diubah menjadi 2,35 persen, kemudian dinaikkan lagi menjadi 2,5 persen, dan terakhir 2,7 persen. Salah satu pertimbangannya, penerimaan pajak diperkirakan minus Rp 219 triliun.

Untuk mengatasinya, David menyarankan pemerintah membuat formula fiskal baru agar lebih leluasa mengambil kebijakan saat ekonomi melambat. Kebijakan defisit anggaran di bawah tiga persen dinilai sangat membatasi kewenangan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. (Baca: Defisit Anggaran Melebar, Pemerintah Masih Bisa Tambah Surat Utang).

Vietnam, misalnya, memiliki defisit anggaran mencapai 5,4 persen pada 2015. Bahkan sempat 9,3 persen pada 2009. Begitu pun dengan India yang pada tahun lalu defisit anggarannya 3,9 persen dan pernah 7,8 persen pada 2009. Di sisi lain, David mengakui bahwa kebijakan defisit anggaran yang tinggi juga dibarengi dengan rasio pajak yang tinggi sehingga ada jaminan atas risikonya.

Karena itu, amnesti pajak saat ini diharapkan sukses meningkatkan basis pajak. Dengan begitu, pemerintah bisa mempertimbangkan formula baru agar fiskal lebih fleksibel khususnya saat ekonomi lemah dan membutuhkan dorongan dari pengeluaran pemerintah.

“Negara emerging market banyak terapkan counter cyclical (pelebaran defisit), tapi itu karena tax rasio-nya lebih bagus dari Indonesia,” kata David kepada Katadata, Senin, 19 September 2016. (Baca: Amankan Anggaran, Jokowi Minta Kendalikan Cost Recovery Migas).

Variabel yang perlu dipertimbangkan, kata dia, adalah defisit primer. Tahun ini, defisit primer diperkirakan mencapai Rp 105,5 triliun. Artinya, pemerintah membayar utang dengan utang baru senilai itu. Sepanjang pemerintah masih membayar utang dengan utang, menurut dia, defisit anggaran semestinya dijaga di bawah tiga persen.

Pertimbangan lainnya yakni inflasi, harga minyak Indonesia, Indonesia Crude Price (ICP), atau defisit transaksi berjalan, Current Account Deficit (CAD). “Belanja produktif belum maksimal, penerimaan masih mengandalkan komoditas. Kalau dibenahi, jangka menengah mungkin bisa dibuat formula anggaran yang lebih fleksibel. Kalau pertumbuhan ekonomi rendah, pemerintah nggak bisa apa-apa karena batasan defisit anggaran tiga persen,” ujar dia.

Menanggapi hal itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyatakan belum ada rencana untuk mengubah kebijakan interval defisit anggaran. Batasan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Pemerintah tetap dengan maksimum defisit tiga persen, tidak ada rencana mengubahnya,” tutur Suahasil. (Baca: Penerimaan Minim, Sri Mulyani Usul Pelebaran Defisit ke Jokowi).

Tetapi, sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyatakan kemungkinan pelebaran defisit ini. Bahkan, salah seorang pajabat tinggi di pemerintahan pun membenarkan wacana penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang terkait pelebaran defisit anggaran karena khawatir penerimaan tax amnesty tak maksimal.