Hingga kini, pemerintah masih memeriksa secara khusus empat perusahaan digital. Sejak akhir Maret lalu, Direktorat Jenderal Pajak menelisik pajak keempat perusahaan raksasa multinasional tersebut, yaitu Google, Yahoo, Facebook, dan Twitter.
Dari empat korporasi itu, Google malah mengirim balik surat pemeriksaan pajak yang diserahkan oleh Direktorat Pajak. Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus Muhammad Hanif mengatakan dinamika pemeriksaan terhadap perusahaan digital besar tersebut berkembang dengan pesat. (Baca: Pemerintah Kejar Pajak Google, Facebook, Twitter, dan Yahoo).
Namun, pada Agustus lalu, Google justru mengembalikan surat pemeriksaan. Artinya, menurut Hanif, tidak ada niatan Google untuk membayar pajak di Indonesia. “Kami akan tingkatkan itu menjadi bukti pembelaan atau investigasi. Karena, menolak untuk diperiksa adalah indikasi pidana,” kata Hanif.
Tak hanya itu, Google pun menolak syarat pemerintah di mana perusahaan yang mencari keuntungan di Indonesia harus berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Hanif mengakui persoalan ini bukanlah hal mudah untuk diselesaikan.
Apalagi, kata dia, banyak negara yang ingin menarik pajak dari pengoperasian perusahaan-perusahaan digital raksasa itu. Namun sampai saat ini baru Inggris yang bisa memajaki mereka. Sementara negara lainya seperti Perancis masih kesulitan untuk menarik pajak perusahaan-perusahaan tersebut. (Baca: Prancis Buru Pajak Google dan McDonald's).
Di sisi lain, tenaga petugas pajak banyak yang terkuras dalam menjalankan program pengampunan pajak atau tax amnesty. Akibatnya, pemeriksaan terhadap Google menjadi terbengkalai. Walau demikian, pemeriksaan pajak terhadap Yahoo, Facebook, dan Twitter tetap berjalan.
Untuk mengatasi masalah ini, Hanif akan berdiskusi lebih lanjut dengan para pimpinan Direktorat Pajak, terutama dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiesteadi. (Baca juga: Izin Kantor Perwakilan Google dan Facebook Terancam Dicabut).
Setelah tahap pertama program pengampunan pajak berakhir pada September ini, Direktorat Pajak akan mulai kembali berkonsentrasi dalam penegakan hukum perpajakan bagi yang tidak mengikuti tax amnesty, khususnya terhadap perusahaan-perusahaan digital tersebut.
“Karena kami dengar akhir September akan dibuka lagi keran law enforcement. Langkah ini akan kami diskusikan apakah kami bisa ambil langkah keras lagi dalam suasana seperti ini,” ujar Hanif.
Sebelumnya, Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan ketika itu, menyebutkan Facebook dan Twitter terdaftar di Indonesia sebagai kantor perwakilan atau representative office. Bertindak sebagai dependent agent, yakni Twitter Asia Pacifik dan Facebook Singapre Pte Ltd yang berkedudukan di Singapura. Karena itu, kedua perusahaan ini membayar pajak di Negeri Singa tersebut.
Menurut Bambang, semestinya Facebook dan Twitter membayar pajak di Indonesia. Karenanya, Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (Badora) Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus menetapkan dua perusahaan itu sebagai BUT atau bagian dari sumber penerimaan pajak. Landasannya, penghasilan Fecebook dan Twitter diperoleh di Indonesia. Hal ini dikenal sebagai prinsip force of attraction rule. (Baca juga: Jokowi Blusukan ke Markas Facebook dan Google).
Sementara itu, Google dan Yahoo yang bertindak sebagai dependent agent juga berasal dari Singapura, yakni Google Asia Pacifik dan Yahoo Singapura Ltd. Karena tidak tercatat sebagai BUT, keduanya juga tidak membayar pajak di Indonesia. Padahal Google sudah terdaftar sebagai Penanam Modal Asing (PMA) sejak 2011, sedangkan Yahoo dari 2009.
“Mereka dapat penghasilan dari sini. Seharusnya mereka bayar pajak di sini,” kata Bambang pada 6 April 2016. Dia yakin meski keempat perusahaan ini dikenai pajak tidak akan lari dari Indonesia. Karena keuntungan yang didapat cukup besar. (Baca pula: 2.000 Perusahaan Asing Tak Bayar Pajak, Negara Rugi Rp 500 Triliun).