Tekan Inflasi di Desa, Pemerintah Siapkan Aplikasi Harga Pangan

Agung Samosir|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
3/8/2016, 17.43 WIB

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) berupaya menekan inflasi di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Caranya adalah memangkas rantai distribusi komoditas pangan dengan penggunaan aplikasi informasi harga pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi perdesaan pada Juli lalu sebesar 0,74 persen. Angkanya lebih tinggi dari inflasi nasional yang sebesar 0,69 persen. Pada bulan-bulan sebelumnya, inflasi di desa memang selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi secara nasional.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menilai, penyebab tingginya inflasi di desa adalah hambatan distribusi komoditas pangan.

Karena itu, dalam rapat koordinasi nasional (Rakornas) Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang rencananya akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo, Kamis (4/8) besok, akan berfokus pada penguatan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah untuk mempercepat ketersediaan infrastruktur dan tata niaga pangan. Forum tersebut mengundang sebanyak 34 gubernur dan 455 bupati/walikota.

Selain itu, Juda melihat, inflasi di perdesaan tinggi karena masalah informasi. Ke depan, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) nasional diharapkan menjadi solusi atas ketersediaan informasi harga pangan, baik bagi konsumen maupun produsen.

(Baca: Inflasi Juli 0,69 Persen, Terpicu Bahan Makanan dan Transportasi)

PIHPS merupakan aplikasi yang menyediakan daftar harga komoditas pangan di masing-masing daerah. Dalam aplikasi ini, jumlah produksi komoditas di tiap-tiap daerah juga bisa diketahui. “Akan disediakan informasi (harga) di tingkat produsen, ini pengembangan ke depan. Memang ini bukan default, hanya sample,” kata Juda saat konferensi pers terkait Rakornas TPID VII 2016 di Gedung BI, Jakarta, Rabu (3/8).

Melalui aplikasi tersebut, petani juga bisa bertukar informasi perihal harga ataupun produksi masing-masing komoditasnya. Bahkan, saat ini dikembangkan sistem peringatan dini (early warning system) untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga di tiap-tiap daerah. Harapannya, setiap sentra produksi bisa bersiap menghadapi kondisi tersebut serta mendorong upaya menahan atau menurunkan harga.

Early warning system artinya bisa antar-anggota TPID, misalnya gubernur, kepala daerah, Dinas Pertanian. Jadi, ketika harga beras, misalnya naik di daerah A nanti bisa ketahuan apa yang harus dilakukan,” kata Juda.

Sebelumnya, Kepala BPS Suryamin mengatakan tren inflasi perdesaan yang lebih tinggi ini disebabkan oleh biaya produksi yang membengkak di sektor pertanian. Apalagi, meskipun harga komoditas di tingkat eceran sudah meningkat, harganya di tingkat petani masih menurun.

(Baca: Menteri Perdagangan Baru Janjikan Tekan Harga Pangan)

Hal ini terjadi karena ulah tengkulak yang membeli dengan harga rendah tetapi menjualnya dengan harga tinggi. Akibatnya, baik petani ataupun konsumen dirugikan.

Sebagai contoh, pada Juli lalu, harga gabah di tingkat petani menurun 2,3 persen. Lalu, harga beras di penggilingan juga terkontraksi 0,5 persen. Namun, harga beras di grosir ataupun eceran naik masing-masing 0,3 persen dan 0,5 persen. “Jadi barang yang diproduksi banyak, harganya turun sehingga petani membeli barang untuk proses produksinya agak tinggi,” kata Suryamin.