Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) akhirnya sampai ke Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan digelar Selasa (28/6) besok. Padahal, dalam Rapat Kerja Komisi Keuangan (Komisi XI) Senin malam ini, tiga fraksi di DPR masih belum sepakat dengan rancangan beleid tersebut.
Ketiga fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan PDI Perjuangan. Pangkal soalnya adalah potensi penerimaan dari program pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun tersebut dimasukkan sebagai target penerimaan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016.
Jika target itu tidak tercapai maka dikhawatirkan bakal memperbesar defisit anggaran tahun ini. Keberatan tersebut disampaikan oleh partai pengusung pemerintah yakni PDI Perjuangan. Karena itu, PDI Perjuangan menginginkan catatan tersebut dimasukkan dalam pembahasan di Sidang Paripurna Selasa besok.
"Karena besarnya potensi penerimaan pajak sangat tinggi dan diakumulasikan dalam APBN-P 2016. Kami mengusulkan tidak dimasukkan dalam APBN-P," ujar Anggota Komisi XI dari PDI-Perjuangan I Gusti Agung Rai Wirajaya, saat Rapat Kerja dengan pemerintah di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (27/6) malam.
(Baca: Mayoritas Fraksi Sepakat, PDIP Minta Tarif Tax Amnesty Lebih Besar)
Selain itu, PDI-P menuntut adanya reformasi perpajakan dengan merevisi tiga undang-undang.
Yaitu Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
PDI Perjuangan juga menuntut kepastian reformasi perpajakan ini agar penegakan hukum efektif dan mengurangi penghindaran pajak. Selain itu, meminta pemerintah mempersiapkan bank persepsi dan instrumen investasi lainnya yang akan menampung dana repatriasi dari para wajib pajak yang mengikuti program tax amnesty.
Sementara itu, Anggota Komisi XI Evi Djaenal Abidin dari Partai Demokrat juga menyampaikan nota keberatan. Ia menilai pengampunan pokok pajak terutang tidak adil bagi pembayar pajak yang patuh. Karena itu, meminta agar sanksi administrasi dan pidana perpajakan saja yang diampuni. Dia juga menolak pengampunan pajak atas harta ilegal (illicit fund), seperti narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia.
Di sisi lain, Fraksi Demokrat meminta tarif tebusan tax amnesty yang lebih rendah.
Selain itu, mengusulkan agar dibentuk kebijakan yang lebih terstruktur untuk mendorong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
(Baca: Tarik-ulur Partai di Detik Akhir Keputusan Tax Amnesty)
"Keberpihakan terhadap UMKM tidak hanya melalui kebijakan relatif singkat (tax amnesty), tapi kontinyu yakni dengan reformasi struktural melalui UU KUP dengan menerapkan tarif serendah-rendahnya untuk UMKM," ujar Evi.
Tak jauh berbeda, Anggota Komisi XI Ecky Awal Mukharam dari PKS juga menilai pengampunan pokok pajak terutang tidak adil bagi wajib pajak. Bahkan, dia menilai besaran tarif tebusan tax amnesty semestinya tidak jauh beda dengan tarif normal, yaitu di kisaran 30 persen.
Menanggapi berbagai keberatan tersebut, Ketua Komisi XI DPR Ahmadi Noor Supit mengatakan catatan keberatan (minder head nota) ini akan dimasukkan dalam pembahasan di Sidang Paripurna DPR.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memahami bahwa masih ada perbedaan pandangan dari beberapa fraksi. Namun, ini merupakan hal wajar untuk mencapai kemufakatan. “Proses pembahasan selanjutnya, sepenuhnya kami serahkan kepada Komisi XI,” ujarnya.
(Baca: Darmin: Ada Tax Amnesty pun Penerimaan Masih Berat)
Dalam berkas pembahasan akhir Panitia Kerja (Panja) Tax Amnesty, Jumat (24/6) pekan lalu, yang salinannya diperoleh Katadata, pemerintah merevisi tarif tebusan dan jangka waktu program amnesti pajak. Program ini direncanakan mulai 1 Juni, dibagi dalam tiga periode waktu secara kuartalan hingga 31 Maret 2017.
Perubahan kedua terkait dengan besaran tarif tebusan bagi peserta program tax amnesty yang bersedia membawa masuk hartanya dan diinvestasikan di dalam negeri (repatriasi). Semula besarannya 1 persen dari nilai harta pada kuartal pertama, 2 persen pada kuartal II dan 3 persen pada kuartal III. Kini, besaran tarifnya dinaikkan 100 persen menjadi 2 persen, 3 persen dan 5 persen.
Begitu pula dengan besaran tarif tebusan bagi peserta program tax amnesty yang hanya bersedia mendeklarasikan hartanya, dinaikkan 100 persen. Yaitu dari skema 2 persen, empat persen, dan enam persen, dinaikkan menjadi empat persen, enam persen, dan 10 persen.
“Tarif untuk yang repatriasi dan deklarasi harus selisih dua kali lipat agar banyak yang bersedia menginvestasikan kembali hartanya di dalam negeri,” kata Bambang beberapa waktu lalu.