Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pada Kamis pekan lalu telah mengguncang pasar keuangan global. Harga saham sejumah bursa modal dunia anjlok. Mata uang Inggris, poundsterling, jatuh ke level terendah sejak 1985, menyentuh posisi 1,33 per dolar Amerika Serikat.
Namun Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan optimistis Brexit tidak berdampak negatif terhadap investasi Inggris di Indonesia. Sebab, investasi langsung lebih bersifat jangka panjang, sehingga keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa tidak mempengaruhi bisnis yang sudah dibuat. (Baca: Tinggalkan Uni Eropa, Inggris Tetap Kerjasama dengan Indonesia).
Bahkan, Franky malah melihat hal itu menjadi peluang bagi Inggris untuk meningkatkan investasinya di Indonesia. “Kita tidak perlu khawatir langkah Inggris keluar dari Uni Eropa, karena tidak akan mempengaruhi kebijakan bisnis yang sudah ada,” kata Franky dalam keterangan resminay, Sabtu, akhir pekan lalu.
Menurutnya, saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk menarik investasi. Terlebih Indonesia sudah memiliki perjanjian perdagangan negara yang menjadi pasar utama. Selain itu, sekarang sedang diupayakan terbentuknya kesepakatan pasar bebas dengan Uni Eropa dan Amerika. Di sini, perusahaan Inggris dapat menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk masuk ke pasar global.
Sementara itu, Deputi Pengendalian Pelaksanaan BKPM Azhar Lubis menyatakan BKPM akan mengintensifkan hubungan dengan para pemodal potensial terkait berbagai langkah reformasi pemerintah di bidang investasi. “Perwakilan BKPM di London terus berkomunikasi dengan investor Inggris terkait peningkatan pelayanan investasi, deregulasi untuk iklim investasi yang ramah investor, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kualitas SDM tenaga kerja,” kata Azhar.
Inggris merupakan mitra utama investasi Indonesia. Sepanjang 2010 - 2015, realisasi investasi Negara Kerajaan itu Indonesia mencapai US$ 4,8 miliar dan merupakan peringkat ke delapan negara dengan investasi terbesar. (Baca: Pemerintah – BI Waspadai Efek Lanjutan Brexit).
Sementara dari sisi komitmen, investasi Inggris pada 2010 - 2015 mencapai US$ 3,1 miliar. Adapun pada Januari - Mei 2016, nilainya telah mencapai US$ 111 juta, tumbuh 517 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bank Indonesia pun memberi pernyataan resmi setelah hasil referendum di Inggris lebih banyak memilih untuk keluar dari Uni Eropa. Bank sentral menyatakan ekonomi Indonesia saat ini memiliki ketahanan yang baik. Stabilitas makroekonomi tetap terjaga yang tercermin dari inflasi yang rendah, defisit transaksi berjalan yang terkendali, dan nilai tukar yang relatif stabil.
Ketahanan ekonomi ini diyakini mampu menjaga perekonomian Indonesia terhadap dampak hasil referendum di Inggris. Bank Indonesia memandang bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa berdampak relatif terbatas pada perekonomian domestik, baik di pasar keuangan maupun kegiatan perdagangan dan investasi. (Baca: BI dan Ekonom: Dampak Brexit ke Rupiah Hanya Sementara).
Di pasar keuangan domestik, di tengah terjadinya pelemahan di pasar uang Eropa dan Asia, nilai tukar rupiah relatif stabil. Sementara itu, pasar saham Indonesia juga terkoreksi relatif terbatas. “Apabila dibandingkan dengan negara-negara peers seperti India, Thailand dan Korea Selatan,” kata Tirta Segara dari Departemen Komunikasi BI.
Dalam jangka menengah, dampak Brexit melalui jalur perdagangan juga diyakini relatif terbatas, selain di pasar keuangan. Sebab, pangsa ekspor Indonesia ke Inggris hanya sekitar satu persen dari total ekspor Indonesia. Meski demikian, dampak lanjutan dari terganggunya hubungan perdagangan Inggris dan Eropa perlu dicermati.
Hal ini mengingat pangsa ekspor Indonesia ke Eropa selain Inggris mencapai 11,4 persen ada tahun lalu. Sebagian besar ekspor Indonesia ke Eropa adalah bahan baku dan mentah. “Bank Indonesia akan terus mencermati potensi risiko yang muncul,” ujarnya. (Baca: Efek Brexit Lebih Memukul Rupiah ketimbang Perdagangan).