Tambah Utang Valas Rp 58 Triliun, Menkeu: Indonesia Dipercaya Asing

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Yura Syahrul
20/6/2016, 14.20 WIB

Pemerintah terus mencari pinjaman luar negeri untuk menutup defisit anggaran negara, yang diperkirakan akan membengkak tahun ini. Yang terbaru, menerbitkan surat utang valuta asing (valas) dalam denominasi yen Jepang dan euro dengan total nilai sekitar Rp 58 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengklaim obligasi itu laris sehingga menunjukkan Indonesia tetap dipercaya oleh investor asing.

Rencananya, Selasa (21/6), pemerintah akan menerbitkan obligasi dalam mata uang yen Jepang atau Samurai Bonds senilai 100 miliar yen atau sekitar Rp 12,7 triliun. Terdiri atas dua seri, surat utang ini memiliki tenor tiga tahun dengan kupon 0,83 persen dan tenor lima tahun dengan kupon 1,16 persen. Obligasi ini diterbitkan dengan skema private placement, yakni khusus untuk investor institusi Jepang yang berkualitas dan sekitar 50 investor umum.

Yang istimewa, menurut Bambang, ini merupakan penerbitan Samurai Bonds pertama kali tanpa menggunakan Japan Bank for International Corporation (JBIC) sebagai pihak penjamin. Jadi, surat utang tersebut dijamin sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. “Biasanya investor Jepang tidak mau membeli surat utang tanpa jaminan JBIC,” katanya dalam temu wartawan di rumah dinasnya, Jakarta, Kamis (16/6) lalu.

(Baca: Terbebani Utang Jumbo, Cina Berpotensi Krisis Nilai Tukar)

Namun, terbukti respons investor Jepang terhadap Samurai Bonds kali ini cukup besar. Itu ditandai oleh adanya sejumlah investor baru. Permintaan terbesar umumnya berasal dari sektor perbankan pusat dan regional, dana publik, asuransi jiwa dan manajer investasi.

Dua pekan lalu, pemerintah menuai hasil lebih besar dari penerbitan obligasi dalam mata uang euro. Dari rencana awal sebesar 2 miliar euro, akhirnya pemerintah menaikkan besaran nilai obligasi tersebut menjadi 3 miliar euro atau sekitar Rp 45,3 triliun dan diterbitkan pada 14 Juni lalu. Obligasi ini terdiri atas dua seri, yaitu tenor 7 tahun dengan bunga 2,62 persen dan tenor 12 tahun dengan bunga 3,75 persen.

Menurut Bambang, total penawaran yang masuk membeludak yaitu mencapai 8,36 miliar euro. Artinya, terjadi kelebihan permintaan hingga 4,2 kali dari nilai penerbitan awal.

“Karena itu nilainya kami up size menjadi 3 miliar euro,” katanya. Mayoritas pembelinya berasal dari Inggris dan Amerika Serikat dengan profil investor adalah manajer investasi dan perbankan.

(Baca: Pemerintah Rajin Rilis Obligasi, Rasio Utang Naik Jadi 36,5 Persen)

Ia menambahkan, ini merupakan obligasi euro terbesar yang pernah diterbitkan pemerintah Indonesia. “Transaksi ini adalah terbesar yang pernah dilakukan negara non-Eropa dan terbesar pula oleh negara dari kawasan Asia,” ujarnya.

Bambang mengklaim, hal tersebut menunjukkan kepercayaan investor asing kepada Indonesia tetap tinggi. Padahal, hanya berselang satu hari sebelumnya Standard & Poor’s mempertahankan peringkat kredit Indonesia sebesar BB+ dengan prospek positif, yang berada di bawah level layak investasi (investment grade).

“Mereka (investor asing) tidak peduli dengan peringkat S&P tersebut. Sebab, mereka tetap percaya dengan ekonomi Indonesia,” ujar Bambang.

Seperti diketahui, pada awal Juni lalu, S&P memutuskan mempertahankan peringkat kredit Indonesia sebesar BB+ karena masih memperhitungkan potensi kenaikan utang dan membengkaknya defisit anggaran. Padahal, sebelumnya permerintah sangat berharap lembaga pemeringkat internasional mengikuti jejak Fitch Ratings dan Moody’s Investor Services, yang telah mengerek peringkat Indonesia ke level layak investasi.

(Baca: Anggaran Terancam, Indonesia Gagal Raih Peringkat Investasi dari S&P)

Surat utang anyar itu bakal semakin menambah jumlah pinjaman pemerintah. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, total utang pemerintah pusat per akhir April 2016 mencapai Rp 3.279,3 triliun atau bertambah 5,8 persen dari akhir tahun lalu. Sedangkan total utang obligasi mencapai Rp 2.529,9 triliun, yang termasuk di dalamnya obligasi valas senilai Rp 656,6 triliun.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) juga merekam kenaikan utang luar negeri (ULN) Indonesia oleh sektor publik (pemerintah dan BI). Per akhir April lalu, jumlah ULN sektor publik mencapai US$ 153,8 miliar atau tumbuh 15,7 persen dibandingkan periode sama 2015. Kenaikannya lebih tinggi daripada bulan sebelumnya yang tumbuh 14 persen.

Sedangkan ULN sektor swasta mencapai US$ 165,2 miliar atau turun 1,1 persen dibandingkan April 2015. Penurunannya juga lebih besar dibandingkan bulan sebelumnya yang melorot 1 persen.

Alhasil, total ULN pada April lalu membengkakn 6,3 persen menjadi US$ 319 miliar.

Mayoritas terdiri atas ULN jangka panjang yang tumbuh 8,3 persen menjadi US$ 279,3 miliar. Sedangkan ULN jangka pendek pada April 2016 turun 5,5 persen.