Pemerintah melalui Kementerian Keuangan membidik target penerimaan negara dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) sekitar Rp 160 triliun hingga Rp 180 triliun. Target tersebut akan dimasukkan dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Sebaliknya, Bank Indonesia lebih pesimistis menghitung target penerimaan dari kebijakan tersebut.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan, potensi wajib pajak yang akan mengikuti kebijakan amnesti pajak dengan mengumumkan (deklarasi) asetnya di luar negeri sekitar Rp 3.500 triliun - Rp 4.000 triliun. “Kalau saya ambil (aset yang dideklarasi) Rp 4.000 triliun (target) konservatif, padahal seharusnya (bisa) Rp 11.000 triliun,” katanya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi Keuangan (Komisi XI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (23/5).
Jika mengacu kepada besaran tarif tebusan deklarasi aset kekayaan sebesar 2 persen, 4 persen, dan 6 persen dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty, yang rata-ratanya 4 persen, maka potensi penerimaan negara sebesar Rp 160 triliun.
Selain itu, Bambang memperkirakan potensi dana yang dideklarasikan dan direpatriasikan ke dalam negeri sebesar Rp 1.000 triliun. Jika dihitung dengan besaran tarif tebusan repatriasi dana 1 persen, 2 persen, dan 3 persen, yang rata-ratanya 2 persen, maka potensi penerimaan negara sebesar Rp 20 triliun.
Jadi, kebijakan pengampunan pajak itu diharapkan menghasilkan penerimaan negara sekitar hingga Rp 180 triliun. Namun, Bambang berencana memasukkan target penerimaan kebijakan itu sebesar Rp 165 triliun ke dalam APBN Perubahan 2016. “Tujuan utamanya, (tax amnesty) itu repatriasi. Kami ingin pemerintah Indonesia menikmati manfaat dari sumber dayanya sendiri,” katanya.
(Baca: Amankan Tax Amnesty, Menteri Keuangan Rombak Pejabat Pajak)
Selain itu, Bambang mengaku pemerintah telah mempersiapkan sejumlah instrumen keuangan dan investasi untuk menampung dana repatriasi amnesti pajak. Antara lain surat utang yang diterbitkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), instrumen investasi properti (REITs), reksadana pendapatan tetap, dan modal ventura, maupun saham untuk periode tertentu.
Batasan waktu investasi dana pengampunan pajak tersebut minimal selama tiga tahun. “Kami harus hati-hati, jangan sampai jangka waktu habis tiga tahun, nanti ramai-ramai (dananya) keluar. Malah gawat,” ujar Bambang.
(Baca: Tanpa Tax Amnesty, Menkeu: Penerimaan Digenjot Seperti Sepeda)
Berbeda dengan Bambang, dalam kesempatan yang sama, Bank Indonesia memperkirakan tambahan penerimaan negara dari kebijakan pengampunan pajak jauh lebih rendah, yaitu hanya Rp 53,5 triliun. Perkiraan ini pun telah meningkat dari proyeksi awal senilai Rp 43,7 triliun.
Perhitungan tersebut mengacu kepada laporan Global Financial Integrity Ilicit Financial Flows, yang menyebutkan dana warga Indonesia di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun. Sedangkan perkiraan dana yang direpatriasikan ke dalam negeri sekitar Rp 560 triliun.
(Baca: Ada 137 WNI di Panama Papers yang Kurang Bayar Pajak)
Berdasarkan besaran tarif tebusan dalam RUU Tax Amnesty, maka BI memperkirakan penerimaan negara sebesar Rp 37 triliun. Sedangkan penerimaan dari domestik dan tebusan dari repatriasi dana sebesar Rp 17,3 triliun. Jadi, BI memperkirakan total penerimaan negara dari kebijakan tersebut Rp 53,4 triliun.
Laporan Global Financial Integrity Ilicit Financial Flows memang terbatas hanya untuk dana yang bersifat ilegal dengan periode 2004 hingga 2013. Jadi, berbeda dengan data pemerintah yang cakupannya lebih besar.