Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI rate sebesar 6,75 persen. Selain itu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung Kamis ini (19/5) menetapkan BI 7-Days repo rate, suku bunga acuan baru pengganti BI rate mulai Agustus nanti, sebesar 5,5 persen. Keputusan tersebut di tengah anjloknya mata uang rupiah dan menguatnya kemungkinan kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) bulan depan.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, stabilitas makroekonomi di dalam negeri masih terjaga. Hal itu tercermin dari inflasi terkendali dalam kisaran target tahun ini sebesar 4 persen plus-minus satu persen. Sedangkan cadangn devisa membaik dan nilai tukar rupiah relatif stabil.
“Ruang pelonggaran moneter yang selama ini terbuka akan bisa dimanfaatkan lebih awal apabila stabilitas makroeknomi tetap terjaga,” kata Agus dalam konferensi pers BI seusai RDG di Gedung BI, Jakarta, Kamis sore (19/5).
Namun, selama dua hari mengadakan rapat, BI melihat kondisi pertumbuhan ekonomi dunia kembali lebih lemah dibandingkan sebelumnya. Hal ini menjadi perhatian karena sumber-sumber pertumbuhan yang melemah tersebut tidak hanya berasal dari negara maju, tetapi juga dari negara-negara berkembang. “Terjadi koreksi tajam dan tentu hal ini berdampak pada negara berkembang seperti Indonesia,” ujar Agus.
(Baca: Jelang Rilis BI Rate, Rupiah Anjlok ke 13.500 per Dolar AS)
Selain itu, BI memperhatikan bahwa harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia sudah menunjukkan kenaikan sedikit meskipun harga minyak masih akan rendah. Poin lain yang diperhatikan BI dalam memutuskan suku bunga acuan adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2016 sebesar 4,92 persen. Meski lebih baik dibandingkan periode sama 2015, pencapaian itu lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya.
Di sisi lain, BI mencermati gejolak di pasar keuangan akibat menguatnya spekulasi kenaikan suku bunga AS. Risalah rapat bank sentral AS bulan April lalu, yang baru dirilis Kamis dinihari tadi, mengindikasikan keinginan banyak pejabat bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga pada Juni nanti. Hal ini menambah peluang kenaikan bunga acuan AS sebanyak dua kali tahun ini, setelah sebelumnya ditaksir hanya naik satu kali.
(Baca: Rombak Struktur Bunga Acuan, BI Pertahankan Besaran BI Rate)
Kondisi tersebut menyebabkan dolar AS menguat tajam, termasuk terhadap mata uang rupiah. Pada perdagangan di pasar spot hari ini, rupiah ditutup melemah 1,4 persen dibandingkan hari sebelumnya menjadi 13.565 per dolar AS. Ini merupakan posisi terendah rupiah dalam tiga bulan terakhir ini.
“Gejolak (mata uang) hari ini besar. Kebijakan petinggi bank sentral AS itu direspons oleh dunia dan berdampak pada mata uang negara secara umum turun,” kata Agus.
Meski begitu, BI berkomitmen menjaga volatilitas rupiah sehingga tidak melemah terlalu dalam. “BI terus ada di pasar dan menjaga rupiah di kisaran fundamental,” ujar Agus.
(Baca: Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate)
Sebelumnya, Analis First Asia Capital David Nathatnael Sutyanto menilai, anjloknya rupiah tidak semata akibat faktor spekulasi kenaikan bunga AS. Ia melihat faktor di dalam negeri turut menekan rupiah. Faktor negatif itu adalah kenaikan utang luar negeri pada kuartal I lalu dan rencana pemangkasan anggaran. “Ini menjadi sentimen negatif bagi rupiah,” katanya.
Sekadar informasi, dua hari lalu, BI mengumumkan total utang luar negeri (ULN) Indonesia per akhir Maret lalu atau kuartal I-2016 mencapai US$ 316 miliar. Jumlahnya naik 5,7 persen dari periode sama 2015 atau tumbuh 1,9 persen dibandingkan kuartal IV-2015. Alhasil, rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat menjadi 36,5 persen.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden yang berisi pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 50 triliun. Penyebabnya adalah seretnya penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Bahkan, Presiden berencana kembali memangkas anggaran negara tahun ini. Langkah tersebut mengancam rencana pemerintah menggenjot belanja dan investasi untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen pada tahun ini.