Kestabilan ekonomi Indonesia tahun ini masih dihantui ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat alias fed rate. Development Bank of Singapore (DBS) Grup memperkirakan bank sentral Amerika, The Fed, akan menaikan suku bunga acuan itu tiga kali di setiap kuartal tahun ini.
Dengan pergerakan itu, mereka memproyeksikan rupiah menyentuh level 13.600 per dolar Amerika tahun ini. Kendati demikian, ekonomi hingga akhir tahun tetap diperkirakan mencapai 5,2 persen. Hal ini terbantu oleh pelonggaran moneter di Eropa dan Jepang sehingga dana asing masih masuk (capital inflow) kendati nilainya berkurang.
Masuknya dana asing ini terpicu oleh perbedaan atau selisih imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) dengan obligasi negara maju mencapai empat persen. Karena itu, capital inflow masih terus membanjiri Indonesia hingga US$ 4,9 miliar sejak awal tahun. (Baca: Langkah Baru BI Antisipasi Kenaikan Bunga Fed Rate).
Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengatakan penguatan rupiah saat ini bukan hal unik. Sebab hal yang sama dirasakan oleh mata uang lain, terutama negara-negara yang pasarnya tengah berkembang atau emerging market. Justru ia ingin mengingatkan pasar agar berhati-hati pada kemungkinan kenaikan fed rate sebanyak tiga kali: Juni, September, dan Desember. Hal itu mengingat inflasi Amerika mencapai target 0,9 persen per Maret 2016.
Padahal, pasar masih memproyeksikan The Fed tidak menaikan fed rate atau puj bila beranjak hanya sekali sebesar 0,25 persen. “Di awal 2016, tingkat inflasi sudah melebihi perkiraan akhir tahun. Jadi basis bagi The Fed menaikan suku bunga sudah tepat. Maka kami terus was-was, kemungkinan volatilitas di financial market. Karena market underestimate,” kata Gundi saat Media Briefing di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu, 27 April 2016. (Baca: BI Peringatkan Pasar Dampak Kenaikan Fed Rate).
Meski begitu, Gundi yakin ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,2 persen pada 2016. Pendorong utamanya berupa konsumsi rumah tangga. Perbaikan kepercayaan konsumen terlihat dari kenaikan impor barang konsumsi. Dibantu pula oleh kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari Rp 3 juta per bulan menjadi Rp 4,5 juta. Ia memproyeksikan konsumsi rumah tangga tumbuh stabil di kisaran lima persen. Sedangkan dari sisi ekspor belum bisa diharapkan.
Adapun pembangunan infrastruktur oleh pemerintah juga menjadi penggerak perekonomian. Sayangnya, hal ini terkendala oleh penerimaan negara yang minim. Melambatnya ekonomi global berdampak pada laba perusahaan, yang berujung pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh). Permintaan masyarakat yang minim pun menurunkan Pajak Pertambahan Nilai. Ditambah dengan melemahnya harga minyak dunia yang menggerus Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta PPh Migas.
Sementara itu, kata Gundi, sebelas paket kebijakan ekonomi semestinya berdampak positif dalam jangka menengah. Tapi implementasinya masih ditunggu oleh swasta. Terutama terkait perbaikan kemudahan berusaha atau ease of doing bussines. (Lihat pula: Indonesia Pimpin Pertumbuhan Ekonomi Asia).
Minat investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) yang sudah tinggi saat ini juga bisa ditindaklanjuti dan dikawal realisasinya. Selain itu, dalam berinvestasi swasta pun memperhatikan volatilitas nilai tukar rupiah. “Yang penting bagi swasta kan rupiah jangan volatil,” Gundi menuturkan.