KATADATA - Situasi ekonomi dunia belum pulih dari kelesuan sepanjang tahun lalu. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan global 2016 masih lemah. Sejumlah faktor membuat kondisi ekonomi tetap rentan.
Pertama, Amerika Serikat yang menjadi penggerak pertumbuhan global berada dalam posisi menjaga suku bunga rendah untuk menggairahkan ekonomi mereka. Sementara itu, ekonomi Eropa dalam tahap perbaikan menghadapi risiko karena Inggris berencana keluar dari Uni Eropa. Ada pula krisis pengungsi. Di belahan dunia lain, pertumbuhan ekonomi Jepang juga belum membaik. Hal ini terkait efek kebijakan penerapan suku bunga negatif.
Negara-negara berkembang, yang satu dekade terakhir menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global, mengalami keadaan serupa. Brazil dan Rusia mengalami resesi karena begitu tergantung terhadap komoditas. Ekonomi Cina malah diproyeksikan melambat tahun ini dibandingkan 2015. Semua hal tersebut menyebabkan perdagangan global tidak meningkat dan pertumbuhan produktivitas tetap lemah. (Baca: Ada 4 Stimulus, Ekonomi 2016 Diperkirakan Bisa Tumbuh 5,2 Persen).
Faktor kedua, harga komoditas tetap rendah seiring pasokan minyak yang masih tinggi dan permintaan tidak meningkat secara cepat. Ketiga, perubahan iklim berpotensi menciptakan 100 juta orang miskin baru. El Nino atau kekeringan tahun ini, yang terparah sejak akhir 1990-an, melanda banyak kawasan, seperti Afrika Timur dan Selatan, Amerika Tengah, dan Karibia.
Penyebab terakhir yakni konflik yang semakin tegang belum menciptakan ketidakstabilan ekonomi terutama di Timur Tengah dan Eropa Timur. Untuk itu, Bank Dunia mengimbau setiap negara menciptakan fondasi yang lebih kuat untuk mengatasi risiko volatilitas perekonomian global. Kebijakan makroekonomi perlu dipadukan dengan peningkatan daya saing dan produktivitas serta membangun kelembagaan yang kuat dan efektif.
Di tengah situasi seperti itu, Bank Dunia memprediksi perlambatan ekonomi Indonesia telah mencapai titik nadir setelah menyentuh level 4,7 persen pada 2015. Kini memasuki fase bangkit menjadi 5,3 persen, dan tahun depan 5,5 persen. Proyeksi positif ini berkebalikan dengan prediksi perlambatan ekonomi di Thailand dari 2,5 persen pada 2015 menjadi 2,0 tahun ini. Begitu juga dengan Cina yang melemah dari 6,9 menjadi 6,7 persen dan Turki dari 4,2 menjadi 3,5 persen.
Menurut sejumlah tim riset ekonom Bank Mandiri, kunci percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah realisasi reformasi struktural dan implementasi rangkaian paket kebijakan ekonomi Pemerintah. Kondisi ekonomi domestik relatif membaik, misalnya nilai tukar rupiah menguat sekitar 4,75 persen sepanjang tahun ini.
Penguatan ini lebih didorong oleh aliran modal asing ke Indonesia karena para investor asing memandang ekonomi Indonesia dalam keadaan yang baik. “Perekonomian Indonesia pada 2016 akan tumbuh sebesar 5,0 persen,” kata tim riset tersebut dalam keterangan resminya hari ini. (Baja juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV-2015 Dinilai Belum Meyakinkan).
Mereka memperkirakan dampak positif dari rangkaian paket kebijakan ekonomi terhadap dunia usaha akan cepat terlihat jika dilakukan dengan konsisten. Karena itu upaya pemerintah meningkatkan iklim investasi dan mempercepat pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menstimulasi investasi di sektor dunia usaha. Sektor moneter pun dapat diharapkan untuk menciptakan iklim yang menunjang pertumbuhan ekonomi tinggi melalui pengendalian inflasi yang rendah.
Sementara itu, ekonom Bank Central Asia David Sumual menyatakan situasi ekonomi global yang masih rentan tidak berpengaruh terlalu sginifikan bagi Indonesia saat ini. Sebab, pertumbuhan ekonomi dunia hanya menyumbang sekitar 23 persen. Apalagi daya beli masyarakat makin membaik seiring dengan penurunan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. “Lebih dari 60 persen, pertumbuhan kita digerakkan oleh ekonomi domestik,” kata David kepada Katadata, Senin, 7 Maret 2016. (Lihat pula: Lebih Optimistis, BI Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen).
Yang penting, dia melanjutkan, pemerintah konsisten menjalankan kebijakan insentif dan disinsentif. Beberapa paket kebijakan ekonomi yang mulai diterapkan, seperti ketentuan upah minimum buruh, diharapkan dapat memperbaiki geliat masyarakat. “Sejumlah paket yang lain baru akan terasa pada semester kedua,” ujarnya. Misalnya, karena menunggu peraturan pelaksana seperti pada Daftar Negatif Investasi.