BPS Meramal Deflasi dan Harga Barang Turun Selama 3 Bulan

KATADATA | Arief Kamaludin
Penulis: Yura Syahrul
1/3/2016, 17.56 WIB

KATADATA - Penurunan harga barang yang menyebabkan deflasi pada Februari lalu bakal terus berlanjut. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kondisi itu dapat berlangsung setidaknya sampai tiga bulan ke depan. Alhasil, daya beli masyarakat akan bisa pulih dan konsumsi rumahtangga meningkat pada kuartal I ini.

Direktur Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menuturkan, berdasarkan siklus tahunan biasanya bulan maret dan April terjadi deflasi. Sebab, para petani memasuki musim panen pada Maret ini sehingga menambah pasokan bahan pangan. Harga beras yang sempat naik 0,43 persen pada Februari lalu diperkirakan akan menurun.

Kebijakan pemerintah mengendalikan harga pangan turut membantu terciptanya deflasi. Harga barang-barang juga semakin menurun kalau harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar jadi diturunkan pada April mendatang. Meski begitu, Sasmito mengingatkan kemungkinan pasokan beberapa komoditas, seperti cabai rawit, akan berkurang karena memasuki musim penghujan. Kondisi ini tentu akan mengerek harga komoditas pangan tersebut.

“Kombinasi (penurunan harga) BBM, musim panen, mungkin pengendalian pemerintah, maka Maret ini bisa terjaga deflasi,” katanya seusai konferensi pers BPS di Jakarta, Selasa (1/3). Kalau tren deflasi dan penurunan harga barang-barang itu terus berlanjut, dia melihat daya beli masyarakat akan kembali naik.

Selain itu, penurunan suku bunga acuan BI rate sebanyak dua kali berturut-turut pada awal tahun ini menjadi 7 persen juga akan berdampak terhadap penurunan harga barang-barang. Jika kebijakan pelonggaran moneter itu diikuti oleh bank-bank dengan menurunkan bunga kredit, semestinya penjualan kendaraan bermotor ataupun properti akan meningkat. Dengan begitu, konsumsi rumahtangga pada kuartal I tahun ini bisa tumbuh lebih baik dibandingkan kuartal IV-2015 yang sebesar 4,91 persen.

(Baca: Harga Pangan dan Listrik Turun, Februari Deflasi 0,09 Persen)

Pada kesempatan terpisah, Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas Sidqi Lego Pangesthi Suyitno juga berpandangan serupa. Bahkan, menurut dia, deflasi kemungkinan terjadi hingga Mei nanti. Selain siklus musiman, faktor pendukung deflasi adalah semakin menurunnya komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) mulai terkendali. Seperti penurunan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan harga BBM.

Sidqi menghitung, jika kenaikan harga BBM sebesar Rp 500 per liter berpengaruh terhadap kenaikan inflasi sebesar 0,6 persen maka semestinya terjadi deflasi sebesar 0,6 persen dari penurunan harga BBM. Namun, sektor transportasi juga mengikuti penurunan harga BBM dengan mengerek tarifnya. “Cuma bagaimana transportasi ini menurunkan tarif. Jangan banyak alasan ini-itu,” katanya.

(Baca: Bunga Turun, BI Prediksi Konsumsi Tumbuh 5 Persen)

Seperti diketahui, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,09 pada Februari lalu setelah bulan sebelumnya inflasi 0,51 persen. Dengan begitu, inflasi secara tahun kalender (Januari-Februari 2016) sebesar 0,42 persen dan secara tahunan (year on year) inflasi 4,42 persen.  

Berdasarkan komponen inflasi, komponen inti pada Februari 2016 masih mengalami inflasi sebesar 0,31 persen. Sedangkan secara tahunan mencapai sebesar 3,59 persen atau lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,62 persen. “Yang bahaya di atas 5 persen,” katanya.

Adapun komponen harga yang diatur pemerintah (administered price) deflasi 0,76 persen karena penurunan TDL dan harga BBM pada Februari lalu. Deflasi juga terjadi pada komponen harga makanan (volatile food) sebesar 0,68 persen karena penurunan beberapa harga komoditas hasil pertanian. “Artinya harga terkendali.”

Di sisi lain, komponen energi pada Februari 2016 juga deflasi sebesar 2,04 persen. Suryamin menilai, seharusnya deflasi ini berdampak pada penurunan biaya produksi sehingga harga jual barang-barang hasil produksi bisa turun.

Reporter: Desy Setyowati