Perubahan APBN 2016 Menunggu Kepastian Tax Amnesty

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Yura Syahrul
12/2/2016, 15.28 WIB

KATADATA - Keinginan pemerintah mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 pada awal tahun ini belum dapat direalisasikan. Pasalnya, Kementerian Keuangan masih menunggu kepastian pemberlakuan aturan pengampunan pajak (tax amnesty) sebagai tambahan sumber penerimaan negara.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro belum bisa menyebutkan waktu pengajuan revisi APBN 2016 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, dia ingin memastikan terlebih dahulu persetujuan DPR terhadap rancangan undang-undang (RUU) tentang pengampunan pajak yang telah diajukan pemerintah. “Kami lihat tax amnesty dulu. Jadi tidak usah cepat-cepat (revisi APBN),” katanya di Jakarta, Kamis (11/2).

Menurut Bambang, persetujuan DPR atas RUU Tax Amnesty itu penting untuk menentukan penerimaan negara, yang kemudian juga akan mempengaruhi besaran belanja pemerintah tahun ini. Adapun rancangan beleid tersebut direncanakan akan mulai dibahas oleh DPR pekan depan.

(Baca: RUU Tax Amnesty Masih Terganjal Amanat Presiden)

Sekadar informasi, pemerintah mengandalkan kebijakan pengampunan pajak untuk menambah penerimaan negara tahun ini. Dalam RUU Tax Amnesty pemerintah menjanjikan penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan dengan membayar uang tebusan. Berdasarkan perhitungan tahun lalu, pemerintah menargetkan penerimaan pajak dari kebijakan tersebut sebesar Rp 60 triliun.

Namun, ada kekhawatiran pembahasan beleid tax amnesty ini bakal terhambat. Pasalnya, DPR meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan Amanat Presiden (Ampres) sebagai bentuk komitmen politik bahwa pembahasan RUU Tax Amensty sejalan dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai pemerintah seharusnya mengajukan segera perubahan APBN 2016. “Revisi APBN seharusnya Maret,” kata dia. Pasalnya, pemerintah harus mengkalkulasi ulang penerimaan negara untuk menopang belanja. Belanja modal yang cukup tinggi di awal tahun ini masih ditopang oleh pembiayaan sebelum tahun anggaran 2016 (pre-funding) pada akhir tahun lalu sekitar Rp 48 triliun.

(Baca: Darmin: Target APBN 2016 Ambisius)

Namun, ke depan, pemerintah membutuhkan penerimaan yang lebih besar untuk membiayai belanja hingga akhir tahun nanti. Penopang utama penerimaan negara adalah penerimaan pajak, di tengah melorotnya ekspor dan anjloknya harga komoditas. David melihat tantangan anggaran negara tahun ini adalah mendongkrak penerimaan pajak, apalagi jika kebijakan tax amnesty sulit dijalankan karena terganjal persetujuan DPR. “Jadi harus ada antisipasi kalau tax amnesty tidak jalan karena tarik-menarik politik. Belanja harus ada penyesuaian nantinya,” kata dia.

Selain penyesuaian pos penerimaan dan belanja, David menilai perubahan APBN 2016 perlu dilakukan untuk merevisi asumsi harga minyak. “Asumsinya (harga minyak ICP dalam APBN 2016) sebesar US$ 50 per barel, sekarang sudah (turun) menjadi US$ 30 perbarel,” katanya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara juga menilai asumsi makro dalam APBN 2016 yang agak meleset dengan kondisi saat ini adalah harga minyak. “Harga minyak yang rendah itu berdampak ke inflasi, seharusnya menjadi turun,” katanya. Namun, dia mengaku belum ada keputusan mengenai perubahan APBN 2016.

(Baca: Menteri Keuangan akan Pangkas Target Pajak Sesuai Kondisi Ekonomi)

Keinginan merevisi APBN 2016 pertama kali diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sejak akhir tahun lalu. Ia menilai target APBN 2016 cukup ambisius karena kondisi ekonomi tahun ini masih kurang mendukung peningkatan penerimaan pajak. Saat ekonomi melambat, keuntungan perusahaan menyusut yang berujung pada minimnya setoran pajak. Apalagi, sebagian besar penerimaan pajak di Indonesia masih bersumber dari perusahaan.

Karena itulah, dia meragukan target pajak 2016 bakal tercapai. Sekadar informasi, target penerimaan pajak dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.368 triliun atau lebih tinggi 29 persen dari realisasi penerimaan pajak, termasuk pajak penghasilan (PPh) migas tahun lalu yang sebesar Rp 1.060,8 triliun.

Belakangan, Menteri Keuangan menyatakan akan mengajukan perubahan APBN 2016 dalam waktu dekat untuk merevisi target penerimaan pajak. Untuk menghitung penerimaan pajak tahun ini harus memperhatikan pertumbuhan alamiah, yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi dan dikalikan dengan penerimaan pajak 2015. “Pertumbuhan ekonomi kami asumsikan 5,3 persen dan inflasi 4,7 persen berarti pertumbuhan alamiah sekitar 10 persen,” kata Bambang, Januari lalu. Dengan menggunakan rumus tersebut, target penerimaan pajak tahun ini yang diajukan Kementerian Keuangan minimal Rp 1.166,67 triliun.

Reporter: Desy Setyowati