KATADATA - Sejak awal pekan ini, rupiah menguat tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menilai, tren penguatan rupiah itu ditopang oleh tiga faktor, baik dari dalam negeri dan luar negeri.
Berdasarkan kurs referensi JISDOR Bank Indonesia, Kamis ini (11/2), rupiah mencapai posisi 13.369 per dolar AS, atau menguat 1,25 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sedangkan di pasar spot, rupiah sempat diperdagangkan di level 13.342 per dolar AS, yang merupakan posisi tertinggi rupiah sejak Juli tahun lalu. Meski akhirnya ditutup di level 13.463 per dolar AS, rupiah telah menguat 1,2 persen dari akhir pekan lalu yang masih berada di kisaran 13.600-an.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan tiga faktor pendukung penguatan tajam rupiah dalam beberapa hari terakhir. Pertama, penurunan harga minyak dunia hingga mencapai level US$ 27 per barel ternyata tidak berdampak signifikan ke Indonesia. Berbeda dengan negara lain, yang pasar keuangannya turut terpukul oleh anjloknya harga minyak dunia. “Indonesia tidak terlalu terekspos dengan turunnya harga minyak,” katanya di Jakarta, Kamis (11/2).
(Baca: Harga Minyak Rendah Dinilai Berefek Positif Bagi Ekonomi Indonesia)
Kedua, faktor ekonomi di dalam negeri. Bambang menyatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2015 sebesar 5,04 persen menjadi sebuah sentimen positif karena melebihi ekspektasi para pelaku pasar. Pencapaian itu juga menumbuhkan optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun ini.
Sentimen positif lainnya adalah angka inflasi yang rendah yaitu 3,35 persen hingga akhir tahun lalu. Karena itulah, investor menilai rupiah lebih stabil dibandingkan mata uang negara-negara lain yang pasarnya tengah berkembang (emerging market). “Di antara emerging market, Indonesia dianggap salah satu yang management market ekonominya relatif prudent dan stabil,” ujar Bambang.
(Baca: Pandangan Investor Asing Positif, Rupiah Menguat 1,2 Persen)
Faktor ketiga penguatan rupiah berasal dari luar negeri. Para pelaku pasar memperkirakan bank sentral AS, Federal Reserve, belum akan menaikkan suku bunga Fed rate dalam waktu dekat ini karena masih melempemnya perekonomian AS. Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan Fed rate baru akan naik pada September atau Desember mendatang. Bahkan, mayoritas investor memprediksi bank sentral AS baru akan menaikkan lagi suku bunganya tahun depan.
Menurut Perry, positifnya perekonomian dalam negeri yang diikuti oleh meredanya tekanan eksternal turut mendukung penguatan rupiah. Langkah pemerintah memacu belanja modal di awal tahun ini turut menuai sambutan positif para pelaku pasar. Per Januari lalu, belanja modal pemerintah sebesar Rp 1,5 triliun lebih tinggi dibandingkan Januari tahun lalu yang cuma Rp 100 miliar. Hal ini diharapkan dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2015.
(Baca: Menguat 6 Persen, Rupiah Terbaik atas Mata Uang Utama Dunia)
Selain itu, BI memperkirakan pada Februari ini akan terjadi deflasi. Karena berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) minggu pertama Februari oleh BI, telah terjadi deflasi 0,14 persen. Sedangkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) diperkirakan terus menciut.
Perry memperkirakan, rupiah akan bergerak di rentang 13.300 hingga 13.700 per dolar AS. “Pergerakannya mengarah ke (nilai) fundamental rupiah,” katanya. Meski begitu, dia berpandangan posisi rupiah saat ini masih di bawah nilai wajar (undervalue).
Penguatan rupiah tersebut diharapkan bakal mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi ke depan. Selain itu dapat mendorong ekspor produk-produk manufaktur.