KATADATA - Seperti kerap terjadi, harga pangan menyumbang cukup tinggi terhadap laju inflasi, begitu pula pada bulan lalu. Badan Pusat Statistik mengumumkan inflasi Januari kemarin sebesar 0,51 persen dibandingkan Desember 2015 atau month to month (mtm).
Lembaga tersebut menyatakan, kelompok yang yang rentan bergejolak atau volatile food menyumbang kenaikan cukup besar. Misalnya, harga daging ayam ras naik 7,32 persen, sementara telurnya bertambah tinggi 7,58 persen. Kenaikan lebih besar terjadi pada harga bawang merah yang melonjak 16,31 persen. Sementara itu, tarif dasar listrik bertambah 2,67 persen. (Baca: Akibat Harga Pangan Melambung, BI Meramal Inflasi pada Januari).
Masih di kelompok ini, harga bawang putih naik 14,51 persen, beras 0,77 persen, dan ikan segar 0,99 persen. Harga kentang mengalami kondisi serupa dengan bertambah 18,56 persen, cabe merah 7,86 persen. Juga, harga tomat sayur dan daging sapi bertambah 12,31 dan 2,04 persen.
Sementara itu, harga rokok kretek filter naik 1,03 persen, emas naik 0,49 persen, serta harga mobil bertambah 0,32 persen. Tak ketinggalan pula, biaya administrasi ATM juga melambung 7,02 persen. (Baca: Harga Pangan Melambung, Inflasi Desember Tertinggi Selama 2015).
Realisasi ini rupanya lebih rendah dari prediksi Bank Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan hasil survei minggu ketiga BI, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, menyataka inflasi sepanjang Januari sudah mencapai 0,7 persen yang dipicu oleh harga pangan. Misalnya, adanya impor jagung, indukan ayam, dan anak ayam umur sehari (day old chicken/DOC) sehingga membuat harga ayam dan pakan ternak turut melonjak.
Kendati begitu, Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi ini merupakan yang terendah kedua sejak 2010. Kepala BPS Suryamin menyatakan dibanding tahun lalu untuk periode yang sama atau year on year (yoy), inflasi Januari mencapai 4,14. Inflasi tertinggi terjadj di Sibolga sebesar 1,82 persen, dan yang terendah di Padang 0,02 persen. Sedangkan deflasi terjadi di Gorontalo 0,58 persen.
Dia juga menyebutkan inflasi sejak 2010 hingga 2014 sebesar 0,84 persen, 0,89 persen, 0,76 persen,1,03 persen, dan1,07 persen. Sedangkan tahun lalu terjadi deflasi 0,24 persen. “Deflasi karena ada penurunan harga Bahan Bakar Minyak. Kalau dibanding 2010-2014 ini paling kecil dalam kondisi normal,” kata Suryamin di kantornya, Senin, 1 Februari 2016.
Dalam inflasi bulanan sebesar 0,51 persen, inflasi inti -yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap- kata Suryamin, hanya 0,29 persen dan 3,62 persen yoy. Angka ini dinilai baik karena secara tahunan masih di bawah lima persen. Harga yang diatur pemerintah atau administered prices bahkan deflasi 0,55 persen karena ada penurunan harga BBM. (Lihat pula: Waspadai Efek Superdolar, BI Awasi Lindung Nilai Utang Swasta).
Bensin dan solar, Suryamin memberi contoh, menyebabkan deflasi masing-masing 3,84 dan 13,73 persen. Namun, secara tahunan inflasi 3,48 persen. Hal ini diikuti dengan komponen energi yang juga mengalami deflasi satu persen mtm dan inflasi 1,61 persen yoy.