KATADATA - Meski sejumlah lembaga internasional meramal perekonomian negara-negara berkembang menghadapi tantangan perlambatan tahun ini, optimisme masih melingkupi perekonomian Indonesia. Bank Indonesia memprediksi ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,2 persen, yang berarti lebih tinggi dari perkiraan pencapaian tahun lalu sebesart 4,75 persen.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pembalikan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik sudah terjadi sejak kuartal III tahun lalu. Setelah ekonomi pada dua kuartal sebelumnya tumbuh masing-masing 4,7 persen dan 4,67 persen, di kuartal III mampu bangkit menjadi 4,73 persen. Bahkan, pada kuartal IV-2015, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,9 persen.
“Karena konstruksi, transportasi, dan listrik itu sektor yang mulai kelihatan pertumbuhannya (di kuartal IV-2015),” kata Perry dalam seminar bertajuk “Global Research Briefing 2016” di Jakarta, Senin pagi (25/1).
(Baca: Hadapi Tiga Masalah Besar, IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Dunia)
Berangkat dari pencapaian di akhir tahun itulah, Perry optimistis ekonomi Indonesia tahun ini bisa tumbuh 5,2 persen. Setidaknya ada empat stimulus yang melatari pandangan optimisnya tersebut.
Pertama, kebijakan pemerintah meluncurkan stimulus fiskal dengan anggaran yang lebih produktif. Kedua, reformasi struktural dengan menghilangkan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ketiga, kebijakan makroprudensial Bank Indonesia, seperti pelonggaran perhitungan Giro Wajib Minimum-rasio tabungan terhadap pinjaman atau Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR).
(Baca: Bank Dunia Peringatkan Ekonomi Negara Berkembang Hadapi Risiko Besar)
Keempat, kebijakan moneter oleh BI dengan menurunkan suku bunga acuan. Pada medio bulan ini, bank sentral telah menurunkan bunga acuan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen. “Keempat stimulus ini mendorong ekonomi tumbuh. Memang jangan diharapkan akan terus langsung melonjak,” ujar Perry.
Meski begitu, ia menyatakan masih bakal ada tekanan dari global terhadap ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah perlambatan ekonomi Cina. Namun, Perry yakin pemerintah Cina tidak akan membiarkan mata uangnya melemah lebih dalam dan akan mengarahkan ekonominya pada stabilitas.
Di sisi lain, Indonesia bisa memanfaatkan perubahan arah ekonomi Cina dari investasi menjadi konsumsi. Caranya dengan menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) yang ingin mengalihkan basis produksinya dari Cina. “Jadi, kami (pemerintah) dorong pembangunan infrastruktur, membuat deregulasi semuanya untuk mendorong investasi masuk,” kata Perry.
Dari sisi suku bunga Amerika Serikat (AS) alias Fed Rate, dia memperkirakan tidak akan naik signifikan dalam tahun ini. Pelaku pasar menaksir bank sentral AS hanya akan menaikan Fed Rate sebanyak dua kali pada Maret dan Juni mendatang. Kenaikannya masing-masing sebesar 25 basis poin.
(Baca: IMF Menilai Kinerja Ekonomi Indonesia Tahun Ini Memuaskan)
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menilai kinerja perekonomian Indonesia tahun lalu cukup memuaskan. Di tengah gangguan perlambatan ekonomi global dan harga komoditas yang merosot, ekonomi Indonesia di 2015 masih bisa tumbuh sekitar 4,7 persen.
Penilaian tersebut diungkapkan Luis E. Breuer, yang memimpin kunjungan Tim IMF ke Jakarta pada 3 Desember hingga 17 Desember 2015. Dalam kunjungannya selama dua pekan itu, Tim IMF bertemu dengan pejabat tinggi pemerintahan, Bank Indonesia, lembaga publik lainnya dan pelaku usaha swasta.
Ia memberi nilai positif terhadap kehati-hatian pemerintah dalam pengelolaan moneter dan fiskal yang didukung oleh pencabutan subsidi harga BBM di akhir 2014. Hal ini membuat prospek ekonomi Indonesia dalam jangka pendek-menengah tetap solid. Kebijakan itu juga mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi di tengah berbagai faktor negatif dari luar negeri. Mulai dari jatuhnya harga komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia, pergeseran kondisi keuangan global, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi mitra dagang utama Indonesia seperti Cina.
Tahun ini, IMF menilai target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dapat tercapai jika didukung oleh beberapa faktor. Antara lain, pulihnya kegiatan investasi, khususnya ditandai oleh peningkatan belanja sektor swasta. Namun, kendala yang dihadapi masih sama dengan tahun ini, seperti anjloknya harga komoditas dan melemahnya permintaan dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Adapun risiko di dalam negeri adalah seretnya penerimaan pajak sehingga dapat mengganggu penerimaan dan membesarnya defisit anggaran. Hal ini juga akan menghambat anggaran belanja untuk proyek infrastruktur. Breuer memperkirakan defisit anggaran 2016 masih bisa di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sesuai dengan undang-undang.