Bom Sarinah Tak Surutkan Minat Investasi Cina

Katadata
Penulis: Muchamad Nafi
15/1/2016, 15.10 WIB

KATADATA - Teror bom dan ledakan di Sarinah, Thamrin, Jakarta kemarin sempat membuat rupiah dan bursa efek tertekan. Namun kepanikan pasar mereda pada perdagangan sesi kedua. Pemerintah menyatakan kehawatiran tersebut hanya bersifat sementara.

Sejumlah investor Cina juga menyatakan tindakan para teroris tersebut tidak menyurutkan minat mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Franky Sibarani memperoleh respons tersebut dalam peretemuan dengan sejumlah pengusaha dalam lawatan ke Cina. (Baca: Panik Bom Sarinah Mereda, Rupiah dan IHSG Turun Sedikit).

Menurut Franky, beberapa calon investor potensial di Shanghai, Cina mengemukakan bahwa keamanan di Indonesia masih terkendali. Apalagi, investasi mereka tidak terpusat di Jakarta. “Para investor juga melihat kesigapan aparat pemerintah, baik kepolisian maupun aparat keamanan lainnya, dalam menangani peristiwa tersebut,” kata Franky dalam keterangan resminya, Jumat, 15 Januari 2016. “Para investor merespons positif statement dan langkah cepat yang diambil oleh Presiden.”

Agar makin meyakinkan situasi yaang masih kondusif di Indonesia, Franky menginstruksikan delapan kantor perwakilan di luar negeri untuk berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Perwakilan RI akan mengkomunikasikan perkembangan peristiwa serta kondisi keamanan di Indonesia kepada para calon investor maupun pemodal yang sudah berinvestasi. “Persepsi positif mengenai keamanan berinvestasi di Indonesia merupakan salah satu poin daya saing investasi Indonesia,” ujarnya.

Dalam kunjungan ke Negeri Panda tersebut, BKPM juga memfasilitasi masalah yang dihadapi investor perusahaan pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. Di industri ini mereka telah berinvestasi hingga US$ 612 juta atau sekitar Rp 8,2 triliun. Para pengusaha menyampaikan beberapa kendala terkait kegiatan operasional mereka mulai dari mendapatkan bahan baku, pajak dan insentif investasi, serta tenaga kerja. (Baca juga: Ledakan di Jalan Thamrin, Bursa Saham dan Rupiah Melorot).

Menurutnya, induk perusahaan mereka di Tiongkok memiliki sembilan perusahaan patungan di Indonesia yang bergerak dalam pengembangan industri smelter dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Morowali, Sulawesi Tengah. Di smelter, kapasitas produksi pabriknya 300 ribu ton. Sementara itu, PLTU memiliki kapasitas 130 MW ( 2 x 65 MW). “Investasi yang dilakukan cukup penting, karena merupakan satu-satunya perusahaan di Indonesia yang mengolah ferronickel menjadi stainless steel,” kata Franky.

Untuk itu, BKPM akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga teknis terkait untuk mencarikan solusinya. Misalnya, ada perusahaan yang kesulitan memperoleh bahan baku karena terhadang peraturan yang tidak memperbolehkan mengambil bahan baku dari satu provinsi ke provinsi lain. Karen aitu, Franky mengusulkan kepada kementerian terkait agar larangan  tersebut dihapus, apalagi hal tersebut melanggar undang-undang.

Terkait dengan persoalan kuota tenaga kerja asing, para pelaku usaha Cina juga mempermasalahkan penyamarataan antara perusahaan berinvestasi kecil dan besar. Sebab, efeknya membuat banyak perusahaan besar melakukan investasi secara bertahap. Mereka pun berharap Pemerintah Indonesia menentukan secara proporsional mengenai masalah kuota tenaga kerja ini. “Harapannya, yang investasinya lebih banyak mendapatkan kuota lebih besar,” urainya.

Untuk diketahui, bidang usaha smelter termasuk yang cukup diminati oleh investor Cina, beberapa proyek sudah masuk masa konstruksi. Selain di Morowali, terdapat investasi smelter di Bantaeng, Sulawesi Selatan senilai Rp 1,7 triliun. Berdasarkan data realisasi investasi Januari – September 2015, nilai industri smelter mencapai Rp 12,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Tiongkok termasuk negara teratas yang mencatatkan nilai rencana investasi di Indonesia. BKPM mencatat sepanjang 2015, pengajuan izin prinsip dari Tiongkok yang masuk ke BKPM mencapai Rp 277 triliun. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar di atas Singapura sebesar Rp 203 triliun dan Jepang Rp 100 triliun.

Reporter: Redaksi