KATADATA - Defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) diprediksi meningkat tahun ini. Selain dipicu oleh impor bahan baku seiring digenjotnya pembangunan infrastruktur, defisit juga didorong oleh pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebab, masuknya pekerja asing akan semakin menekan neraca jasa dan pendapatan yang selama ini minus.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memperkirakan defisit transaksi berjalan sebesar 2,6 hingga 2,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2016. Proyeksi tersebut lebih tinggi daripada perkiraan defisit transaksi berjalan tahun lalu senilai US$ 17,5 miliar atau sekitar 2 persen dari PDB. (Baca: BI Perkirakan Defisit Transaksi Berjalan 2015 Menciut 36 Persen).
Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia David Sumual memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada pada kisaran 2,5 sampai 3 persen tahun ini. Penyebabnya, surplus neraca perdagangan kemungkinan akan mengecil atau bahkan berpeluang defisit. Persoalan geopolitik di Timur Tengah membawa harga minyak turun sehingga berpengaruh pula pada harga komoditas. Kondisi ini akan memperburuk kinerja ekspor Indonesia.
Kinerja ekspor juga akan terpengaruh kebijakan pemerintah bila jadi bergabung dengan kemitraan dagang di kawasan Pasifik alias Trans Pacific Partnership (TPP). Sebab, produk manufaktur Indonesia masih kalah saing dari Vietnam, yang tergabung dalam kerja sama tersebut. “Ekspornya (Vietnam) ke Amerika Serikat pasti meningkat,” kata David kepada Katadata, Kamis, 14 Januari 2016.
Menurut David, program pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi melalui deregulasi baru selesai pada semester pertama 2016. Karena itu, dalam enam bulan pertama tahun ini stimulus tersebut belum berpengaruh terhadap peningkatan ekspor. Karena itu, ekspor masih bergantung pada komoditas yang diprediksi tetap tertekan sepanjang tahun.
Sementara itu, sektor padat karya seperti tekstil diramalkan berpeluang meningkat, namun hanya sedikit. Sedangkan manufaktur belum ada perbaikan tahun ini. “Kemungkinan (neraca dagang) surplus kecil, lebih banyak malah defisit,” tutur David. (Baca juga: Ekonomi Indonesia Tahun Depan Terancam Defisit Kembar)
Menurutnya, pelebaran defisit transaksi berjalan juga dipicu oleh meningkatnya defisit neraca jasa dan pendapatan. Terbukanya delapan jenis pekerjaan bagi Warga Negara Asing melalui MEA akan membebani neraca jasa dan pendapatan yang kerap defisit. Profesi tersebut, yakni insinyur, arsitek, akuntan, dokter gigi, praktisi medis, perawat, tenaga pariwisata, dan tenaga survei. Misalnya, pada 2014, defisit sektor jasa mencapai US$ 34 miliar. Tahun lalu, BI memprediksi neraca jasa dan pendapatan defisit sebesar US$ 31 miliar.
Kendati demikian, David menyatakan defisit transaksi berjalan di level 2,5 hingga 3 persen masih dipandang baik oleh investor. Tetapi, harus dibarengi dengan upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi. Juga, paket kebijakan diharapkan efektif menarik investasi asing langsung (FDI) di paruh kedua tahun ini. (Lihat pula: Pertama Sepanjang 2015, Neraca Dagang November Defisit).
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menambahkan, kondisi neraca dagang Indonesia saat ini sama seperti ketika terjadi krisis 1998. Saat itu, harga komoditas menurun sementara dolar Amerika meningkat. Untungnya, sejak 2002-2008 harga komoditas meningkat sehingga kinerja ekspor membaik signifikan. Hal ini membantu ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari lima persen.
Tetapi saat ini, kata Budi, pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan komoditas. Dengan berubahnya arah ekonomi Cina, semestinya Indonesia mengikuti langkah Vietnam yang mendorong industri manufaktur. Sebab, deregulasi belum akan berdampak terhadap ekspor tahun ini. Untuk itu, dia berpandangan bahwa pemerintah bisa mengandalkan sektor pariwisata untuk tumbuh.
“Indonesia terlambat mengembangkan Sumber Daya Manusia. Meskipun saya dengar akan ada hilirisasi, itu bagus. Langkah cepatnya, ya, dorong wisatawan masuk,” tutur Budi.