KATADATA - Sepertinya sulit mengharapkan adanya sebuah keputusan berbeda dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada Rabu besok (13/1). Dalam rapat selama dua hari hingga Kamis nanti, para ekonom memperkirakan bank sentral masih akan mempertahankan suku bunga acuan BI rate sebesar 7,5 persen. Artinya, genap satu tahun suku bunga acuan BI bertahan di level tersebut.
Dari sisi kondisi makroekonomi, sebenarnya ada peluang BI menurunkan suku bunga. Pasalnya, inflasi tahun 2015 sebesar 3,35 persen merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Persoalannya, para ekonom melihat tekanan rupiah saat ini masih tinggi akibat beragam faktor negatif dari luar negeri.
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, beberapa sentimen negatif di pasar keuangan global menyebabkan mayoritas mata uang dunia melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tak terkecuali mata uang rupiah. Mulai dari permasalahan geopolitik berupa pertikaian antara Arab Saudi dan Iran, jatuhnya harga minyak dan rilis ekonomi Cina yang di bawah ekspektasi sehingga mengindikasikan semakin dalamnya perlambatan ekonomi di negara itu.
(Baca: Bursa Saham Global Anjlok, Indonesia Masih Paling Baik)
Karena itulah, Lana memperkirakan BI masih akan menahan BI rate tetap 7,5 persen. “Perhatian masih pada rupiah yang sekarang terganggu, karena harga minyak yang terus menurun dan dollar AS terus menguat. Belum lagi yuan masih melemah,” kata dia kepada Katadata, Selasa (12/1).
Ekonom Bank Pembangunan Singapura (Development Bank of Singapore/DSB) Gundy Cahyadi juga melihat potensi tertekannya rupiah akibat faktor eksternal menjadi alasan BI untuk mempertahankan suku bunga. Kekhawatiran terhadap prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market) meningkat, menyusul perlambatan ekonomi Cina.
Meski begitu, Gundy menilai ruang bagi BI untuk menurunkan BI rate sebenarnya lebih terbuka sekarang ketimbang beberapa bulan lalu. Sebab, inflasi inti pada 2015 sudah di bawah empat persen. Inflasi inti tahun lalu merupakan yang terendah selama pancawarsa.
(Baca: Tahun Depan, Kinerja Rupiah Diramal Terburuk di Asia)
Selain itu, pertumbuhan ekonomi tahun ini diprediksi lebih baik dibandingkan 2014. Investasi pemerintah akan lebih cepat mengucur pada awal tahun ini karena pembiayaannya sudah tersedia. Dengan begitu, ekonomi tahun ini bisa tumbuh di atas lima persen.
Namun, Gundy juga berpendapat, tidak ada kebutuhan mendesak bagi BI untuk menurunkan BI rate bulan ini. Apalagi, di tengah kondisi pasar keuangan yang labil, kebijakan menggunting suku bunga malah bakal mengirimkan sinyal yang salah kepada pelaku pasar. “Kestabilan rupiah sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi yang kuat. Saat marak terjadi perang mata uang, penurunan BI rate bisa mengirimkan sinyal yang salah,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Seto Wardono memperkirakan BI masih berpeluang besar menurunkan BI rate pada kuartal I tahun ini. Pertimbangannya, angka inflasi rendah dan defisit transaksi berjalan menciut di akhir 2015. “Tetapi pelonggaran moneter ini masih sangat tergantung pada stabilitas sektor finansial, terutama nilai tukar rupiah,” katanya.
(Baca: Ekonomi Akhir Tahun Membaik, BI Masih Tahan Suku Bunga)
Ekonom LPS Moch. Doddy Ariefianto malah meminta BI lebih hati-hati dalam menjalankan kebijakan moneternya. Sebab, dia memprediksi adanya risiko pembalikan arah kebijakan suku bunga memasuki semester II-2016 lantaran gejolak di pasar keuangan. Pangkal soalnya adalah kemungkinan terjadinya “triple taper tantrum” ketika tiga bank sentral di dunia yaitu bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) mulai mengurangi stimulusnya dengan mengerek suku bunga. Di saat bersamaan, bank sentral AS (Ferdeal Reserve) melanjutkan kebijakan menaikkan suku bunganya.
Jika triple taper tantrum tersebut benar-benar terjadi, maka rupiah akan tertekan sangat dalam. Alhasil, BI rate mungkin perlu naik lagi. “Kami prediksi posisi BI rate di akhir 2016 sebesar 7,5 persen,” ujar Doddy.