KATADATA - Kementerian Keuangan menyiapkan utang lebih awal atau pre-funding alias ijon sekitar Rp 63 triliun. Uang sebesar itu untuk membiayai pembangunan infrastruktur awal 2016. Sumber dana berasal dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi berbentuk valuta asing US$ 3,5 miliar atau Rp 48 triliun dan matang uang domestik senilai Rp 14 triliun.
Kebijakan pre-funding ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2016 yakni menerbitkan SUN pada akhir 2015. Tujuannya, untuk menjamin ketersediaan pendanaan pada awal tahun anggaran 2016. Untuk itu, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menerbitkan obligasi global berdenominasi dolar Amerika Serikat ini pada awal bulan lalu. (Baca juga: Utang Luar Negeri Tahan Penurunan Cadangan Devisa Akhir Tahun).
Selain itu menerbitkan dua obligasi domestik yakni FR0070 dan FR0046 masing-masing Rp 7 triliun. Lalu ditambah sukuk sebesar Rp 1 triliun melalui private placement. “Itu total pre-funding yang kami lakukan Rp 63,5 triliun. Dengan begitu, tidak akan kesulitan kebutuhan pembiayaan negara,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Robert Pakpahan di kantornya, Jakarta, Senin, 4 Januari 2016.
Di sisi lain, dengan percepatan utang ini, Kementerian Keuangan belum berencana menambah pinjaman siaga atau stand by loan baru. Robert menilai penerimaan pajak akan membaik tahun ini.
Menurut dia, sebetulnya kredibilitas pemerintah dalam menerbitkan utang dinilai baik sehingga minat investor tetap tinggi. Karena itu, walau belum ada program menambah pinjaman siaga, pemerintah tetap menjajaki pinjaman multilateral dan bilateral karena dianggap lebih murah. Saat ini rasio utang pemerintah masih aman di level 27 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Robert mengatakan, lelang surat utang menjadi sumber utama pembiayaan, lalu penerbitan obligasi valas. Saat ini pemerintah menjajaki surat utang valas dengan denominasi mata uang Cina, renminbi, berupa Dimsum Bond atau Panda Bond. Pemerintah juga berencana meningkatkan penerbitan obligasi ritel untuk menjaring investor dalam negeri. Instrumen ritel rencanannya ada empat jenis, yakni obligasi ritel, saving bond ritel, sukuk ritel, dan sukuk tabungan.
“Kalau valas dan ritel berjalan baik, kami tidak butuh private placement. Private placement kalau ada turbulance di pasar atau mungkin kalau ada pelebaran defisit anggaran,” tutur Robert.
Jika dilihat dari total utang pemerintah dan swasta, data Bank Indonesia menunjukkan posisi utang luar negeri Indonesia pada semester pertama tahun lalu sebesar US$ 303,7 miliar. Dari jumlah tersebut, utang luar negeri sektor swasta paling banyak, yakni US$ 169,2 miliar atau 55,7 persen dari seluruh pinjaman. Adapun sisanya, US$ 134,5 miliar, merupakan pinjaman sektor publik. (Baca: BI Peringatkan Posisi Utang Indonesia).
Menurut bank sentral, utang pada Juli 2015 tumbuh 3,7 persen (yoy), lebih lambat dibandingkan posisi sebelumnya sebesar 6,3 persen (yoy). Perlambatan pinjaman ini terjadi di sektor swasta maupun publik. Utang swasta yang bertambah 6,7 persen pada Juli lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 9,7 persen. Faktor utamanya dipengaruhi oleh turunnya utang dagang. Adapun pinjaman sektor publik hanya tumbuh 0,3 persen, melambat dibandingkan posisi Juni sebesar 2,2 persen.
Walau melambat, BI memperingatkan agar pemerintah tetap berhati-hati. “Bank Indonesia memandang perkembangan utang luar negeri Juli 2015 masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian,” demikian pernyataan resmi bank sentral ketika itu.