Langkah Baru BI Antisipasi Kenaikan Bunga Fed Rate

Agus Martowardojo ----------------------- Arief Kamaludin|KATADATA
Agus Martowardojo ----------------------- Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Muchamad Nafi
14/12/2015, 17.29 WIB

KATADATA - Seperti hantu, kabar kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikata selalu membayangi pergerakan rupiah sejak krisis ekonomi 2008 lalu.  Karena itu, Bank Indonesia (BI) sedang mengantisipasi dampak kenaikan Fed Rate ini. Salah satunya dengan menambah pendanaan dari kesepakatan baru dengan bank sentral negara lain.

Sayangnya, Gubernur BI Agus Martowardojo belum mau mebeberkan negara yang dimaksud, bentuk kerja sama, dan besarannya. “Hari ini kami akan tanda tangan lagi perjanjian kerja sama dengan negara sahabat. Besok kami sampaikan,” kata dia dalam acara Pemberian Penghargaan kepada Pelaporan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di Gedung BI, Jakarta, Senin, 14 Desember 2015.

Saat ini, BI sudah memiliki perjanjian berbentuk Bilateral Currency Swap Agreement dengan bank sentral Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Kali ini, Agus menyebutkan kerja samanya bersifat baru, bukan diperbaharui atau pun ditambah nilainya. Harapannya, akan menambah kekuatan moneter dalam negeri melalui kerja sama tersebut. (Baca: Efek Devaluasi Yuan dan Fed Rate, Rupiah Menuju 14.000 per Dolar AS).

Menurutnya, bank sentral Amerika, The Fed, kemungkinan menaikan Fed Rate secara bertahap. Peningkatan bertahap ini berdampak signifikan terhadap naik-turun atau volatilitas nilai tukar rupiah. Hal itu terlihat dari pelemahan rupiah hari ini karena adanya kekhawatiran pasar bahwa Fed Rate naik pada 17 Desember nanti. Untuk tahun depan, Agus memperkirakan Fed Rate naik jadi 1,125 persen. Kemudian, bertambah terus sampai 2,625 persen pada 2017. “Kenaikan secara gradual ini perlu diwaspadai karena ada kecenderungan dolar Amerika menguat,” tutur dia.

Pada perdagangan di pasar spot hari ini, rupiah langsung melemah hingga menyentuh level 14.111 per dolar Amerika atau turun sekitar 0,5 persen dari akhir pekan lalu. Meski pergerakannya hingga siang masih naik-turun, rupiah terus tertekan di bawah level 14.000 per dolar. BI juga mencatat pelemahan rupiah sebagaimana trlihat dalam kurs referensi JISDOR. Mata uang Indonesia ini diperdagangkan 14.076 per dolar Amerika, melemah dibandingkan Jumat pekan lalu yang masih berada di level 13.937 per dolar.

BI mencatat, nilai rupiah mencapai 14.800 per dolar Amerika pada awal Oktober. Kemudian turun di bawah 14.000 per dolar ketika ekspektasi kenaikan Fed Rate mundur. Selanjutnya, rupiah relatif stabil meski keluar data ekonomi Cina yang menurun, karena diiringi pengumuman paket kebijakan ekonomi ketiga hingga ketujuh. (Baca juga: Khawatir Dana Asing Kabur, BI Tahan Suku Bunga BI Rate).

Dalam mengantisipasi volatilitas rupiah yang kerap mempercepat degup jantung itu, persediaan cadangan devisi menjadi penting. Apalagi, mengingat cadangan mata asing, dalam hal ini dolar Amerika, terus menurun. Misalnya, cadangan devisa per 30 November 2015 sebesar US$ 100,24 miliar, turun dari US$ 107,553 miliar pada posisi 31 Juli 2015.

Karena itu, dari sisi pemerintah, telah menambah pendanaan dari bank sentral Cina (People’s Bank of China/PBoC) menjadi US$ 20 miliar atau sekitar Rp 270 triliun. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, tambahan pendanaan ini untuk mendukung likuiditas pendanaan di dalam negeri. “Tambahan demand ini bisa digunakan seluruhnya untuk liquidity support,’ kata dia.

Pertengahan Oktober lalu, BI menandatangani kesepakatan serupa dengan negara di wilayah Asia Tenggara senilai US$ 2 miliar. Sedangkan dengan Korea Selatan, memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai 10,7 triliun won atau sekitar Rp 115 triliun. Adapun dengan Jepang, perjanjian yang dilakukan senilai US$ 22,76 miliar pada akhir 2013.

Reporter: Desy Setyowati