KATADATA - Langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengebut pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak agar dapat segera diundangkan, dinilai tidak akan efektif untuk mendongkrak penerimaan pajak tahun ini. Pasalnya, beberapa persyaratan untuk mendukung kebijakan tax amnesty tersebut, seperti akses perbankan dan skema kewajiban repatriasi aset, masih belum jelas.
Jika beleid pengampunan pajak tersebut disahkan oleh DPR, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo memperkirakan, penerimaan pajak hanya bertambah sekitar Rp 60 triliun sampai Rp 90 triliun pada tahun ini. Nilai itu berdasarkan perkiraan optimistis bahwa DPR dan pemerintah mampu mengejar pembahasan hingga menjadi UU Pengampunan Pajak selama 10 hari ke depan. “Besar kemungkinan (RUU) ini akan diketok Desember 2015,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini kepada Katadata, Senin (30/11).
Selain mempersoalkan waktu yang pendek, Prastowo juga melihat beleid itu tidak akan efektif karena masih adanya beberapa persyaratan yang belum terpenuhi. Pertama, ketentuan repratiasi dana sehingga wajib pajak yang dapat pengampunan tersebut bisa menempatkan dananya di dalam negeri dalam waktu lama. Misalnya, di instrumen surat utang negara (SUN) atau deposito. Alhasil, kondisi ini memungkinkan dana tersebut kembali ke luar negeri ketika insentif pengampunan pajak tersebut tidak lagi diberikan.
Kedua, akses ke perbankan. Hingga kini, belum ada program pertukaran data pajak atau Automatic Exchange of Information (AEOI) dengan perbankan. Karena itulah, Prastowo sebelumnya juga pernah menilai, hasil yang diperoleh pemerintah lewat kebijakan pengampunan pajak tersebut tidak akan sebanding dengan risiko atau pengorbanan yang dikeluarkan.
Namun, sebelumnya Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon pernah menyebut, pihak otoritas tengah mempersiapkan petunjuk pelaksanaan yang memungkinkan aparat pajak membuka data nasabah di perbankan. Kebijakan ini sejalan dengan akan diberlakukannya AEOI pada tahun 2017. Namun, sebelum membuka data nasabah bank, OJK berharap pemerintah dan DPR merevisi terlebih dahulu Undang-Undang (UU) Perbankan. Sebab, dalam UU itu memuat banyak aturan kerahasiaan bank.
(Baca: Beleid Pengampunan Pajak Ditargetkan Rampung Akhir Tahun Ini)
Sedangkan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, Presiden Joko Widodo harus cermat memahami pasal demi pasal yang tercantum dalam RUU Tax Amnesty tersebut. "Jangan sampai prosesnya jadi liar dan tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah itu sendiri. Jangan sampai jadi barter dan jadi kepentingan para politisi," katanya kepada Katadata.
Seperti diketahui, rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada Jumat lalu (27/11), menyepakati pembahasan dua RUU yang selama ini menuai kritik dari masyarakat. Pertama, RUU tentang pengampunan pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas tahun 2015 sebagai usulan pemerintah. Artinya, dalam sisa masa sidang DPR yang akan berakhir pertengahan Desember nanti, pembahasan beleid ini akan dikebut sampai ketok palu untuk diundangkan.
Kedua, pengusul revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah DPR. Sebelumnya, revisi beleid ini merupakan usulan pemerintah yang telah dimasukkan dalam Prolegnas RUU Prioritas tahun ini.
Kesepakatan tersebut tentu melegakan pemerintah. Selama ini, pemerintah memang getol mengegolkan RUU Tax Amnesty untuk mendongkrak penerimaan negara dari uang tebusan wajib pajak yang melaporkan hartanya. Apalagi, penerimaan pajak masih seret. Per 4 November lalu, penerimaan pajak mencapai Rp 774,4 triliun atau baru 59,8 persen dari total target penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.294,3 triliun.
(Baca: Menteri Keuangan: Tax Amnesty Hanya untuk Pidana Fiskal dan Pajak)
Hingga tutup tahun ini, realisasi penerimaan pajak kemungkinan cuma 85 persen dari target. Alhasil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi defisit anggaran tahun ini membesar menjadi 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Firman Soebagyo, Pimpinan Baleg DPR menyatakan, beleid tax amnesty tersebut untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. “Dibandingkan harus utang ke luar negeri (untuk menutup defisit)," katanya. Meskipun masa sidang DPR tahun ini hampir berakhir, dia optimistis pembahasan RUU Tax Amnesty dapat dirampungkan. Sebab, tidak banyak lagi perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR.