KATADATA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mencapai kata sepakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, dua beleid ini sempat memicu perdebatan dan penolakan di tengah masyarakat.
Rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada hari Jumat ini (27/11), telah menyepakati dua agenda penting. Pertama,
RUU tentang pengampunan pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas tahun 2015 sebagai usulan pemerintah. Artinya, dalam sisa masa sidang DPR yang akan berakhir pertengahan Desember nanti, pembahasan beleid ini akan dikebut sampai ketok palu untuk diundangkan.
Kedua, pengusul revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK adalah DPR. Sebelumnya, revisi beleid ini merupakan usulan pemerintah yang telah dimasukkan dalam Prolegnas RUU Prioritas tahun ini.
Kesepakatan tersebut tentu melegakan pemerintah. Selama ini, pemerintah memang getol mengegolkan RUU Tax Amnesty untuk mendongkrak penerimaan negara dari uang tebusan wajib pajak yang melaporkan hartanya. Apalagi, penerimaan pajak masih seret. Per 4 November lalu, penerimaan pajak mencapai Rp 774,4 triliun atau baru 59,8 persen dari total target penerimaan pajak tahun ini senilai Rp 1.294,3 triliun.
Hingga tutup tahun ini, realisasi penerimaan pajak kemungkinan cuma 85 persen dari target. Alhasil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi defisit anggaran tahun ini membesar menjadi 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Firman Soebagyo, Pimpinan Baleg DPR menyatakan, beleid tax amnesty tersebut untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara. “Dibandingkan harus utang ke luar negeri (untuk menutup defisit)," katanya kepada Katadata. Meskipun masa sidang DPR tahun ini hampir berakhir, dia optimistis pembahasan RUU Tax Amnesty dapat dirampungkan. Sebab, tidak banyak lagi perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR.
Padahal, sebelumnya sejumlah pihak meragukan efektivitas beleid itu lantaran belum ada data yang akurat mengenai dana warga Indonesia di luar negeri. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, tanpa data tersebut maka UU Tax Amnesty itu tidak menjamin dana warga Indonesia masuk kembali ke dalam negeri. Wajib pajak bisa berbohong terkait jumlahnya. “Apalagi di RUU itu tidak ada skema penempatan dana di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, ada dua opsi jika Direktorat Jenderal Pajak ingin menerapkan tax amnesty. Pertama, aturan tersebut ditunda hingga 2017 sesuai rencana awal. Dengan demikian, pemerintah bisa memanfaatkan program Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mendapatkan informasi perpajakan dari wajib pajak. AEOI merupakan pedoman dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang diadopsi oleh 90 negara. Adapun Indonesia merupakan anggota aktif OECD dan G20 yang akan mengadopsi AEOI pada akhir 2017.
Opsi kedua, cakupannya dipersempit menjadi pengampunan pajak saja. Sehingga, pengampunan sanksi pidana pajak, termasuk untuk koruptor, mesti dikeluarkan dalam RUU tersebut. Menurut Prastowo, hilangnya sanksi pajak tidak menjamin wajib pajak menempatkan dananya di Indonesia dan tetap memarkirnya di luar negeri. Padahal, koruptor sudah mendapatkan fasilitas ini.
Draf RUU Pengampunan Pajak Pasal 9 memang menyebutkan cakupan tax amesty secara gamblang yakni meliputi penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Dalam Pasal 10 juga ada fasilitas tambahan yakni orang pribadi atau badan usaha memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba dan perdagangan manusia.