Status Krisis Ekonomi, DPR - Pemerintah Beda Pandangan

Arief Kamaludin|KATADATA
Gedung DPR
Penulis: Yura Syahrul
19/11/2015, 10.59 WIB

KATADATA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih berbeda pandangan mengenai kewenangan penetapan status darurat ekonomi kalau terjadi guncangan di pasar keuangan pada masa depan. Penetapan status kondisi perekonomian domestik itu merupakan salah satu poin penting dalam  pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK).

Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengatakan, semua anggota DPR sependapat untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU JPSK. Sebanyak enam dari sembilan fraksi di DPR pun sudah mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait RUU itu. Berdasarkan inventarisasi itu, para anggota DPR menilai presiden yang berwenang menetapkan situasi ekonomi dalam kondisi normal atau tidak normal. Pandangan ini berbeda dari draf awal RUU JPSK yang diajukan oleh pemerintah.

“Di draf awal kan masing-masing lembaga (yang menetapkan status normal atau tidak). Kami tidak mau, harus ada presiden. Kalau ada apa-apa, presiden yang tanggung jawab. Presiden yang mengatakan (kondisi itu) darurat,” kata Fadel seusai rapat pembahasan RUU JPSK dengan pemerintah dan Bank Indonesia di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu sore (18/11).

Adapun penetapannya itu berdasarkan hasil kajian Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). “Presiden ikut di dalamnya. Tadinya (draf awal) hanya (diwakilkan) Menteri Keuangan,” imbuh Fadel.

Pandangan mayoritas fraksi di Komisi XI DPR ini berbeda dengan sikap pemerintah. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menilai hasil kajian empat institusi pemerintah tersebut di atas dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) cukup untuk menentukan kondisi darurat ekonomi. Apalagi, presiden tentu juga akan meminta pandangan dari keempat lembaga tersebut. “Sebenarnya, siapapun yang memutuskan terbuka kesempatan. Dalam pandangan kami, sekarang dibawa ke presiden pun, beliau akan bertanya ke siapa? Ke empat (lembaga) ini kan,” katanya.

Selain kewenangan penetapan status darurat ekonomi, poin lain pembahasan RUU JPSK adalah ketentuan mengenai imunitas terhadap pengambil kebijakan di saat krisis ekonomi. Komisi XI sepakat menghilangkan pasal imunitas tersebut, namun akan mendapatkan bantuan hukum. Poin lain yang dibahas adalah mekanisme lanjutan setelah suatu bank ditetapkan sebagai bank berdampak sistemik, akan diperjelas. Baik dari sisi lembaga yang menanganinya, ataupun prosedur pembiayaannya.

Sekadar informasi, Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintah sebenarnya menginginkan RUU JPSK segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU) paling lambat akhir Oktober lalu. Bahkan, Jokowi pernah menyatakan keinginannya agar pembahasan RUU tersebut dipercepat sehingga rampung bulan September lalu. Keberadaan beleid ini dibutuhkan agar Indonesia tidak mengulang kesalahan yang terjadi sewaktu penanganan krisis tahun 1998 dan 2008. Apalagi, dana asing sempat hengkang dari pasar keuangan dan pasar modal domestik pada September lalu. Alhasil, mata uang rupiah melemah tajam hingga di bawah Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.

Namun, hingga kini, pembahasan RUU JPSK di DPR belum jua tuntas. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, berharap pembahasan calon beleid tersebut bisa rampung di tingkat komisi sebelum berakhirnya masa sidang DPR pada awal Desember nanti. "Kita harus masuk kepada proses pembahasan lebih besar yang sistematis. Usulan saya, sebelum Pilkada tanggal 9 Desember nanti pembahasan tingkat 1 sudah selesai," ujarnya.

Reporter: Desy Setyowati