KATADATA - Peluang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate dalam waktu dekat ini semakin terbuka. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan BI sebagai otoritas mineter di negara ini mengakui adanya ruang untuk menurunkan BI rate karena didukung membaiknya beberapa indikator ekonomi makro.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, angka inflasi kemungkinan akan mencapai empat persen pada akhir tahun ini. Sedangkan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) kian membaik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perdagangan pada September 2015 membukukan surplus sebesar US$ 1,02 miliar. Secara kumulatif, total perdagangan Januari - September 2015 juga mencetak surplus US$ 7,53 miliar. Dengan begitu, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III ini diharapkan menciut dari posisi kuartal II lalu yang sebesar 2,05 persen.
(Baca: Impor Turun, Neraca Dagang Kembali Surplus US$ 1,02 Miliar)
Atas dasar itulah, Darmin melihat adanya ruang untuk menurunkan BI rate. Namun, dia memahami kekhawatiran BI terhadap risiko keluarnya dana asing keluar (capital outflow) kalau menurunkan BI rate saat ini. Hal ini bisa menyebabkan mata uang rupiah kembali melemah. Darmin juga enggan memperkirakan waktu yang tepat bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan.
“Memang kita (perekonomian Indonesia) masih dalam proses pemulihan dan mungkin BI masih perlu mengkaji. Tapi arahnya memang kalau (inflasi) rendah, mestinya ada ruang menurunkan (BI rate),” katanya di Jakarta, Jumat (16/10).
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui adanya indikasi menurunkan BI rate. Namun, langkah untuk melonggarkan kebijakan moneter itu perlu waktu yang tepat karena kondisi ekonomi global masih belum kondusif. “Pokoknya ada indikasi tapi harus dicari timing yang tepat,” katanya.
(Baca: Khawatir Dana Asing Kabur, BI Tahan Suku Bunga BI Rate)
Seperti diketahui, dalam Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (15/10), BI memutuskan mempertahankan BI rate sebesar 7,5 persen. Artinya, level BI rate ini sudah bertahan sejak Februari 2015 atau selama sembilan bulan terakhir. Padahal, rupiah kembali menguat sejak awal Oktober lalu dan sejumlah indikator ekonomi membaik.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengakui, sudah ada ruang bagi BI untuk menurunkan BI rate. Namun, BI masih khawatir dengan risiko keluarnya dana asing dari pasar domestik. Kondisi ini akan memukul rupiah dan berdampak ke perekonomian Indonesia. “Porsi asing di pasar obligasi dan saham besar,” katanya.
Untuk menurunkan BI rate, ada tiga kondisi yang harus terpenuhi terlebih dahulu. Pertama, inflasi hingga akhir tahun ini berada di bawah titik tengah target yang sebesar empat persen. Kedua, defisit transaksi berjalan sekitar dua persen atau lebih rendah dari prediksi semula sekitar 2,2 persen hingga 2,3 persen. Ketiga, kemungkinan mundurnya kenaikan bunga The Fed pada tahun ini sehingga aliran modal masuk (capital inflow) ke Indonesia semakin besar.