Khawatir Dana Asing Kabur, BI Tahan Suku Bunga BI Rate

Donang Wahyu|KATADATA
Gedung Bank Indonesia
Penulis: Yura Syahrul
15/10/2015, 19.43 WIB

KATADATA - Bank Indonesia (BI) masih belum mau menurunkan suku bunga acuan BI rate meskipun sejumlah indikator perekonomian di dalam negeri menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Alasannya, bank sentral tetap mewaspadai risiko pemulihan ekonomi global yang masih terbatas sehingga berpotensi mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Seusai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis sore (15/10), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengumumkan keputusan BI untuk mempertahankan BI rate sebesar 7,5 persen. Sedangkan suku bunga Deposit Facility 5,5 persen dan Lending Facility 8 persen. Artinya, level BI rate ini sudah bertahan sejak Februari 2015 atau selama sembilan bulan terakhir.

Kebijakan BI mempertahankan suku bunga tinggi tersebut di tengah desakan sejumlah ekonom untuk menurunkan BI rate demi memacu pertumbuhan ekonomi.

Apalagi, beberapa indikator ekonomi di dalam negeri terlihat membaik. Sejak awal Oktober ini hingga Selasa lalu (13/10), nilai tukar rupiah menguat tajam sebesar 9,3 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan kurs referensi JISDOR di BI hari Kamis ini (15/10), rupiah sudah menembus level 13.288 per dolar AS. Sepanjang tahun ini, pelemahan rupiah sudah terpangkas dari 17-18 persen pada September lalu menjadi tinggal minus 8,32 persen.

Ekonom Universitas Indonesia Anton Gunawan pernah menyatakan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini merupakan momentum tepat bagi BI untuk menurunkan BI Rate. Sebab, permasalahan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang rendah. Penurunan BI rate dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

(Baca: Rupiah Menguat, BI Diminta Turunkan Suku Bunga)

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bulan September 2015 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen sehingga inflasi secara tahunan (year on year) sebesar 6,83 persen. Ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 7,18 persen. Adapun inflasi tahun kalender (year to date) sebesar 2,24 persen. Jadi, target inflasi pemerintah tahun ini sebesar 4,4 persen kemungkinan bisa tercapai.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung menyatakan, BI saat ini tidak lagi fokus melihat risiko kenaikan suku bunga Amerika Serikat (Fed Rate) tahun ini sebagai faktor penentu kebijakan BI rate. “Sudah ada ruang untuk menurunkan BI rate,” katanya.

Namun, hingga kini, BI memilih mempertahankan suku bunga acuan meskipun sejunmlah indikator ekonomi di dalam negeri juga membaik. Saat ini, yang menjadi kekhawatiran BI adalah risiko keluarnya dana asing (capital outflow) dari pasar domestik sehingga akan memukul rupiah dan berdampak ke perekonomian Indonesia. “Porsi asing di pasar obligasi dan saham besar,” kata Juda.

Sepanjang bulan Oktober ini, terjadi aliran masuk dana asing sebesar US$ 249 juta. Rinciannya, US$ 174 juta masuk ke pasar saham dan US$ 75 juta ke pasar surat utang negara (SUN). Padahal, pada bulan sebelumnya terjadi arus keluar dana asing senilai US$ 249 juta. “Di Oktober mulai ada net supply (dolar), penguatan rupiah karena pemegang dolar atau eksportir sudah mulai melepas (dolar). Alhasil, pasokan dan permintaan dolar menjadi seimbang.

Ke depan, ada tiga faktor atau indikator yang memungkinkan bank sentral menurunkan BI rate. Pertama, inflasi hingga akhir tahun ini berada di bawah titik tengah target yang sebesar empat persen. Kedua, defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) sekitar dua persen atau lebih rendah dari prediksi semula sekitar 2,2 persen hingga 2,3 persen. Ketiga, kemungkinan mundurnya kenaikan bunga The Fed pada tahun ini sehingga aliran modal masuk (capital inflow) ke Indonesia semakin besar.

Kalau skenario tersebut berjalan mulus maka dana asing akan masuk semakin deras hingga akhir tahun. Dengan begitu, rupiah berpotensi terus menguat. Pada saat itulah, BI memiliki kesempatan menurunkan BI rate. Namun, Juda tak memperkirakan waktu perubahan kebijakan moneter tersebut. Yang jelas, dia menegaskan, BI tidak bergantung pada kebijakan suku bunga AS. “Kami tidak bergantung pada kebijakan The Fed,” tandasnya.

Chief Economist Bahana TWC Investment Budi Hikmat menilai, saat ini sebenarnya waktu tepat untuk menurunkan BI rate. Namun, BI memilih jalan aman dengan menahan suku bunga acuan karena pelaku pasar melihat inflasi tahunan per September 2015 masih tinggi yaitu 6,8 persen. Alhasil, BI akan menjadi salah satu bank sentral terakhir yang akan melonggarkan suku bunganya.

Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi menyatakan, sejumlah bank sentral di Asia memang telah bergerak memotong suku bunganya dalam beberapa pekan terakhir. Namun, BI tidak mungkin mengikuti gerakan tersebut lantaran potensi tekanan inflasi masih besar.

BPS mencatat, inflasi inti per September 2015 secara tahunan sebesar 5,07 persen atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 4,92 persen. Penyebab kenaikan inflasi inti adalah pelemahan rupiah sehingga mengerek harga barang-barang impor.

(Baca: Barang Impor dan Harga Beras Ancam Target Inflasi di Akhir Tahun)

Sekadar informasi, inflasi inti adalah komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi. Ini dipengaruhi faktor fundamental seperti permintaan-penawaran, faktor eksternal seperti nilai tukar, harga komoditas internasional, serta inflasi mitra dagang, dan faktor harga pedagang dengan konsumen. Kenaikan inflasi inti menunjukkan pelemahan rupiah sudah dibebankan pengusaha kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution, Desy Setyowati