KATADATA ? Mantan Wakil Presiden Boediono menyatakan pemerintah perlu bertindak hati-hati dalam menghadapi situasi krisis. Bila penanganannya tidak tepat, bisa berakibat buruk terhadap ekonomi.
"Saya ingin mengingatkan, krisis finansial dimulai dengan berkurangnya likuiditas valuta asing (valas). Tidak hanya itu, kemudian berimbas pada berhentinya aktivitas ekonomi," kata Boediono di seminar bertajuk 'Managing Financial Turbulence' di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (22/9).
Dalam situasi seperti ini, Boediono menegaskan bahwa kepastian kebijakan menjadi penting bagi masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan bagaimana informasi kebijakan tersebut diterima publik. "Kapasitas pengambil kebijakan dan komunikasi ke masyarakat menjadi penting untuk bisa membuat dana kembali," ujarnya.
Kepastian kebijakan terhadap pasar, dia menjelaskan, merupakan langkah awal untuk menghadapi krisis. Kebijakan yang tidak konsisten akan membuat pasar menjadi khawatir dan risiko dana asing yang keluar (capital outflow) menjadi besar. (Baca juga: Ekonomi Sedang tidak Normal, tapi Bukan Krisis).
Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini memberi contoh krisis moneter yang menerpa Indonesia dan sebagian besar negara Asia lainnya pada 18 tahun silam. Krisis 1997 diawali dengan rumor yang berkembang hingga dua pekan kemudian menimbulkan ketidakpastian. Ketika ketidaktahuan dan ketidakpastian terjadi, ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. (Baca pula: Menkeu: Kondisi Masih Terkendali, Jauh dari Krisis).
Salah satu yang dilakukan pemerintah ketika itu adalah mengeluarkan kebijakan penjaminan penuh atas dana nasabah di perbankan (blanket guarantee). Langkah ini dinilai bisa menahan peralihan dana di bank kecil sehingga tidak ada persoalan likuiditas. Juga, untuk meminimalkan rumor buruk di sektor perbankan dalam negeri.
Saat ini, ekonomi global memang kembali lesu. Ketidakpastian bank sentral Amerika, The Fed, beberapa waktu lalu dalam menentukan nilai suku bunga acuannya membuat mata uang dunia tertekan, tak terkecuali rupiah. Hal ini pun memicu kekhawatiran investor asing sehingga melarikan dananya dari negara-negara emerging market. Belum lagi efek kebijakan Cina yang mendevaluasi mata uanganya. Yuan yang makin lemah membuat barang buatan mereka begitu "murah" dan menghantam produk negara lain.
Pandangan Boediono terhadap penanganan krisis tersebut senada dengan pemikiran Alistair Darling. Menteri Keuangan Inggris periode 2007-2010 ini menyatakan pasar sangat memerhatikan kebijakan pemerintah ketika ada gejolak ekonomi. Menurut dia, sebuah kebijakan harus memiliki ukuran yang jelas untuk meyakinkan pasar bahwa pemerintah serius menangani masalah. Begitu juga dengan konsitensi aturan tersebut. "Apa yang bermasalah dengan nilai tukar rupiah saat ini? Karena ada kekhawatiran investor dunia. Jaminan bagi masyarakat itu perlu untuk kepastian keamanan," kata Alistair.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan pemerintah bersama dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan terus berkoordinasi menjaga stabilitas keuangan dan makroekonomi. Pemerintah saat ini bisa menilik kembali sejarah Indonesia dalam menangani krisis ekonomi sejak kemerdekaan hingga 2008 lalu yang dipicu oleh subprime mortgage.
Sebagai contoh kesunguhan pemerintah dalam mengahdapi krisis, kata Bambang, yakni menyangkut pembentukan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang ditargetkan selesai Oktober nanti. Kebijakan ini salah satu kepastian pemerintah untuk menghadapi krisis. "Kami akan berkoordinasi dan kerjasama untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mengatasi dampak sistemik," ujarnya.