KATADATA – Beberapa perusahaan minyak dan gas bumi (migas) non-konvensional mengancam akan hengkang dari Indonesia. Perusahaan tersebut mengaku keberatan dengan sistem kontrak kerja sama yang ditetapkan pemerintah.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto masih enggan menyebut siapa saja perusahaan yang mengancam akan menutup operasinya di Indonesia. Dia hanya mengatakan ada beberapa faktor yang membuat perusahaan tersebut enggan berbisnis di Indonesia.
"Ada yang sudah keluar itu yang non konvesional. Beberapa dari mereka juga mengancam keluar kalau tidak ada insentif fiskal," kata dia beberapa hari lalu di Kantornya.
Masalah lainnya adalah mengenai sistem kontrak kerja sama yang diberlakukan. Beberapa perusahaan migas non-konvensional menganggap tidak terlalu tepat jika harus menggunakan sistem kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Menurut dia, perusahaan migas non konvensional lebih cocok menggunakan pendapatan kotor (revenue gross).
Menurut Djoko yang membedakan kedua sistem tersebut adalah sistem audit. Sistem PSC menggunakan sistem pra audit, yakni audit dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas. Sementara sistem gross revenue, audit dilakukan setelah adanya aktivitas. Dengan menggunakan sistem PSC, perusahaan yang ingin melakukan aktivitas harus mendapat izin Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas). Inilah yang dianggap pelaku migas menjadi penghambat kegiatan produksi.
Dia mengaku pemerintah memang sedang berupaya mengubah sistem kontrak kerja sama dengan perusahaan migas non-konvensional. Ini dilakukan agar investor tertarik untuk menanamkan modalnya untuk mengambangkan sumber daya migas ini.
Menurut Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi, kinerja perusahaan migas non-konvensional memang tidak sebaik perusahaan migas konvensional. SKK Migas juga masih mengkaji sistem kerja sama yang tepat untuk perusahaan migas non-konvensional. "Sedang dibahas bagaimana sistem kerja sama yang tepat bagi perusahaan migas non-konvensional," ujar dia.
Kementerian menyebut pengembangan migas non konvensional seperti gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) dan shale gas selama ini berjalan lambat. Bahkan, belum ada satu pun investor tertarik menggarap proyek shale gas.
Saat ini sudah ada 54 proyek kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) CBM. Namun hanya sedikit yang masih dikembangkan oleh KKKS, sedangkan sisanya ‘mati suri’. Belum lagi yang mengancam akan keluar dari Indonesia.
Akhir tahun lalu sebenarnya pemerintah telah menjanjikan insentif dan mengubah kontrak agar lebih menarik bagi investor. Namun, hal ini belum juga terealisasi hingga sekarang. Padahal pengembangan migas non-konvensional sangat potensial.
Pengembangan shale gas di Amerika Serikat mampu membuat harga minyak turun, karena pasokan dunia melimpah. Terlebih untuk Indonesia yang telah mengalami defisit migas.
Data Kementerian ESDM menyebut potensi migas nonkonvensional sebenarnya lebih besar dari yang konvensional. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF), lebih besar jika dibandingkan CBM yang mencapai 453,3 TCF dan gas konvensional yang hanya sebesar 153 TCF.
Shale gas adalah gas yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi gas membutuhkan waktu sekitar lima tahun.
Sementara CBM merupakan gas alam dengan dominan gas metana disertai sedikit hidrokarbon dan non hidrokarbon dalam batubara, hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.