KATADATA ? Pasar mulai berpikir negatif terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah sudah memberi banyak janji di masa awal pemerintahan, tapi kenyataannya pertumbuhan ekonomi melambat. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I sebesar 4,71 persen, lebih rendah dari target awal pemerintah.

?Saya pikir market menjadi (berpikir) negatif. Ada masalah komunikasi, pemerintah menjanjikan banyak hal tetapi sulit untuk ditepati,? kata Steven R. Tabor, Country Director Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank / ADB).

Meski begitu, pelaku pasar terlihat masih memberi kesempatan bagi pemerintah untuk merealisasikan janji-janjinya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu memperbaiki pengeluaran di semester II tahun ini. Caranya adalah mempercepat pembangunan infrastruktur.

Steven mengaku sudah bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (MenPU-Pera) Basuki Hadimuljono. Dalam pertemuan tersebut, dia mengetahui sudah ada peningkatan pengeluaran pemerintah. Jadi, dia optimistis, adanya peningkatan belanja pemerintah pada kuartal III dan kuartal IV 2015.

Pada kesempatan berbeda, Ekonom Utama Bank Dunia, Ndiame Diop, menuturkan, meski kondisi perekonomian global perlahan membaik, keseimbangan antara risiko global terhadap prospek ekonomi Indonesia masih kurang menguntungkan. Negara yang bergantung pada komoditas, termasuk Indonesia, masih akan tertekan oleh faktor penurunan permintaan.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi bisa terganggu oleh risiko pembiayaan eksternal yang relatif tinggi. ?Mungkin perlu mengelola risiko-risiko yang diakibatkan oleh depresiasi mata uang,? kata Diop dalam paparan Bank Dunia mengenai Economic Quarterly di Jakarta, Rabu (8/7).

Atas dasar itulah, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari semula 5,5 persen menjadi 4,7 persen. Dalam paruh kedua tahun ini, pembangunan infrastruktur belum akan mampu menarik investasi sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Selain itu, ekspor masih akan tertekan oleh pelemahan ekonomi Cina sebagai pengimpor komoditas terbesar di dunia.

Meski begitu, Diop melihat, kondisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara lain yang bergantung pada komoditas, seperti Brasil dan Afrika Selatan. Defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) di bawah 3 persen berkat kebijakan pengalihan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) ke sektor produktif.

Reporter: Desy Setyowati