KATADATA ? Bank Indonesia (BI) menurunkan target pertumbuhan ekonomi menjadi 5 persen-5,4 persen, dari sebelumnya 5,4 persen-5,8 persen pada tahun ini.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, revisi ini disebabkan kinerja ekspor yang diperkirakan masih akan tertekan seiring tren penurunan harga komoditas. Selain itu, investasi pemerintah yang diharapkan dapat mengompensasi turunnya belanja rumah tangga dan investasi swasta tidak kunjung meningkat pada kuartal II.
BI melihat, pada kuartal II ini kinerja pertumbuhan ekonomi memang sudah lebih baik daripada kuartal sebelumnya. Namun, konsistensi pemerintah untuk mempercepat realisasi belanja dan perbaikan iklim investasi masih berjalan lambat. Padahal, peran pemerintah tersebut penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
?Hingga akhir tahun, kami perkirakan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5-5,4 persen,? tutur Tirta Segara di kantornya, Jakarta, Kamis (18/6).
Selain faktor internal, BI juga melihat peranan perekonomian global terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yakni, perlambatan ekonomi di beberapa negara seperti Cina berdampak pada menurunya permintaan impor komoditas. Sementara, Indonesia masih mengandalkan komoditas untuk ekspor.
Kemudian, ada kekhawatiran kondisi negosiasi fiskal Yunani tidak berjalan baik. Lalu, diikuti dengan ketidakpastian bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed, untuk menentukan kenaikan suku bunganya (Fed Rate). Hal ini membuat dolar AS menguat terhadap semua mata uang, begitu juga dengan rupiah. Maka, hal ini berpengaruh pada impor barang modal untuk mendorong industri manufaktur.
?Karena ada risiko Yunani dan ketidakpastian kenaikan Fed Rate, risiko di pasar keuangan global masih cukup tinggi. Ini berpotensi mendorong tekanan pembalikan modal portofolio dari negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market), termasuk Indonesia,? ujar dia.
(Baca: BI Beri Sinyal Pertahankan Suku Bunga)
Melihat situasi ini, BI masih fokus untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dengan menahan suku bunga acuan (BI Rate) tetap 7,5 persen. Kendati begitu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi BI melonggarkan kebijakan makropudential. Seperti melonggarkan rasio agunan terhadap harga jual(Loan to Value/LTV).
Kebijakan ini dipastikan akan keluar pada Juni ini. Dengan begitu, BI yakin pertumbuhan kredit perbankan bisa meningkat. ?Sudah ditandatangani, dan kami sudah kirim ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Biasanya kalau susah sampai sana, prosesnya cepat. Mudah-mudahan Juni sudah keluar,? kata Tirta.
Tirta juga memastikan, bahwa stabilitas sistem keuangan masih baik ditopang oleh ketahanan sistem perbankan yang relatif terjaga. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) masih tinggi, yakni 20,5 persen jauh di atas ketentuan minimum 8 persen. Begitu juga dengan rasio kredit bermasalah atau non-peforming loan (NPL) yang naik tipis dari 2,4 persen menjadi 2,5 persen secara gross.
Pemerintah sebelumnya telah menyiapkan dua asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun ini. Dua asumsi pertumbuhan tersebut lebih rendah dari target dalam APBN-P 2015 sebesar 5,7 persen.
Dengan asumsi yang lebih tinggi, ekonomi diperkirakan tumbuh 5,4 persen. Sedangkan dalam perhitungan yang lebih rendah, ekonomi diupayakan dapat tumbuh sebesar 5,2 persen.
?Paling tinggi (pertumbuhan ekonomi) 5,4 persen,? kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (15/6).
Sejumlah lembaga keuangan dunia sebelumnya telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini. Lembaga-lembaga itu memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah 5 persen.
Ada sejumlah persoalan yang dinilai menjadi hambatan Indonesia. Dari sisi global, perlambatan ekonomi dunia, terutama Cina yang menjadi mitra utama perdagangan Indonesia, membuat permintaan produk dalam negeri menurun. Sementara rencana kenaikan suku bunga AS berdampak terhadap keluarnya modal asing serta menyebabkan kurs rupiah semakin lemah.