Risiko Masih Mengintai, Ekonomi Butuh Stimulus

KATADATA
Seorang karyawan toko sedang menunggu calon pembeli di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
6/5/2015, 18.09 WIB

KATADATA ? Kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal II-2015 masih menyimpan sejumlah risiko. Pelemahan indeks saham, kurs rupiah, serta rendahnya pencapaian penerimaan pajak dapat menjadi sentimen negatif bagi pelaku ekonomi.

Pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) perlu memberikan stimulus yang dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2015 yang di bawah harapan, serta adanya siklus tahunan membuat pertumbuhan ekonomi pada kuartal II sulit menembus 5 persen.

Ekonom Universitas Indonesia Anton Gunawan menilai, realisasi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I yang hanya sebesar 4,71 persen menjadi sentimen negatif bagi aktivitas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang di bawah ekspektasi tersebut menjadi acuan bagi investor, terutama di pasar modal, bahwa keadaan ekonomi masih akan lemah.

?Dikhawatirkan kalau tidak ada tanda-tanda yang cukup realistis untuk menahan pelambatan pertumbuhan, akan semakin mengurangi sentimen positif yang tadinya sudah terbentuk di pasar modal,? kata Anton saat dihubungi Katadata, Rabu (6/5).

(Baca: Ekonomi Indonesia Melambat, Hanya Tumbuh 4,71 Persen)

Situasi ini ditambah adanya risiko yang berasal dari siklus tahunan, yakni repatriasi dividen dan pembayaran utang luar negeri pada Mei-Juni. Siklus ini bisa berdampak pada meningkatnya permintaan dolar Amerika Serikat (AS) yang kemudian berimbas terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.

BI, menurut Anton, perlu mewaspadai hal ini dengan menjaga supaya rupiah tidak melemah secara drastis. BI dapat melakukan intervensi terhadap rupiah, tapi bukan untuk menjaga nilai tukar di level tertentu, melainkan agar pelemahannya tidak terjadi secara mendadak.

?Supaya tidak ada kesan (kurs) tidak terkendali dan BI tidak menahannya dengan cepat. Intervensi bisa dilakukan agar (pelemahan) jangan sampai menjadi sinyal negatif,? tutur mantan Komisaris Independen Bank Mandiri ini.

(Baca: Indonesia Kehilangan Momentum untuk Pacu Pertumbuhan Ekonomi)

Dari sisi moneter, BI dapat melonggarkan kebijakan suku bunganya dengan menurunkan BI Rate. Menurut Anton, masih ada ruang untuk menurunkan suku bunga acuan, tapi itu bukan satu-satunya yang dapat dilakukan bank sentral.

BI dapat pula melakukan relaksasi kebijakan uang muka pembelian rumah dan mobil atau loan to value (LTV). LTV adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan berupa properti atau kendaraan, pada saat pemberian kredit atau pembiayaan.

(Baca: Sinyal Kuning untuk Pemerintah)

Sementara dari sisi pemerintah, dapat melakukan pemangkasan anggaran belanja yang tidak prioritas. Ini terutama untuk menyesuaikan dengan penerimaan pajak kemungkinan tidak mencapai target. Dalam APBN-P 2015, pemerintah mematok penerimaan pajak sebesar Rp 1.294,3 triliun atau naik 32 persen dibanding realisasi penerimaan pada 2014 sebesar Rp 981,9 triliun.

Adanya penurunan laju pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi penerimaan perpajakan ini, meskipun pemerintah akan menerapkan sunset policy. Jadi mau tak mau, pemerintah mesti mengurangi belanja. Pasalnya, kalau target pajak tersebut tidak tercapai, pemerintah bakal kesulitan untuk memenuhi kekurangannya karena ruang menaikkan defisit anggaran sudah tipis.

Misalnya, kata Anton, kalau penerimaan pajak meleset 10 persen, nilainya sekitar Rp 140 triliun-Rp 150 triliun. Sedangkan ruang defisit pun terbatas maksimal sebesar 2,5 persen, dari alokasi sekarang sebesar 1,9 persen.

?Ruang defisit yang tersedia sekitar 0,6 persen terhadap PDB, atau sekitar Rp 60 triliun-Rp 80 triliun. Jadi untuk mencapai defisit 2,5 persen, kekurangannya masih besar,? kata dia. (Baca: Jumlah Penduduk yang Menganggur Meningkat)

Adapun untuk mencari pinjaman luar negeri akan sulit. Lembaga multilateral paling banter memberikan sekitar US$ 2 miliar, sedangkan dari pasar keuangan akan terkendala suku bunga yang lebih mahal. ?Paling realistis adalah mengurangi sebagian penyertaan modal negara (PMN) untuk BUMN. Bisa dikurangi setengahnya, terutama yang visibility-nya belum jelas.?

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, lambatnya penyerapan belanja pemerintah pada kuartal I-2015 lantaran adanya perubahan nomenklatur kementerian/ lembaga. Pemerintah optimistis pada kuartal II tingkat penyerapan akan mencapai 32 persen, terutama yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

?Iya kami push (dorong). Kalau pekerjaan yang banyak, selama ini kesulitannya di birokrasi. Tapi ini pelajaran berharga bagi pemerintah. (Seharusnya) jalan dulu, jangan perubahan nomeklatur,? tutur dia di kantornya, Jakarta, Selasa (5/4).

Dia mengatakan, pemerintah siap merealisasikan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, perumahan, dan Light Rail Transit (LRT). Sedangkan pengerjaan proyek kereta cepat, masih menunggu kajian yang akan diputuskan sebelum akhir tahun ini.

Dengan naiknya investasi pemerintah, konsumsi rumah tangga diharapkan juga meningkat. Pemerintah, kata Sofyan, belum berencana merevisi target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Komuniaksi BI Tirta Segara menuturkan, pertumbuhan investasi pada kuartal II akan meningkat seiring dengan naiknya belanja modal pemerintah pada proyek infrastruktur. Ini sejalan dengan pemantauan BI atas kemajuan tahapan konstruksi dari berbagai proyek pemerintah tersebut.

Kendati demikian, BI juga mengingatkan bahwa masih ada risiko pertumbuhan ekonomi yang akan berada di batas bawah proyeksi BI sebesar 5,4 persen-5,8 persen. Tingkat pertumbuhan ini tergantung seberapa besar dan cepat realisasi berbagai proyek infrastruktur yang direncanakan pemerintah.

?Ini di luar konsumsi yang diperkirakan akan tetap kuat, dan ekspor yang secara gradual akan membaik,? tutur Tirta.

Reporter: Desy Setyowati